Lwaka[jaya] (RM Sahid) ternyata adalah juga seorang banteng (preman) pasar atau berandal. Kemudian menjadi seorang begal bernama Baskara[jaya] yang terkenal dengan ilmu kebalnya bernama Mirah Delima. Baskara adalah lafal lidah Jawa, sebenarnya RM Sahid merubah namanya menjadi Ba Ka Ra (Ba Kaf Ra, dalam huruf Hijaiyah). Huruf-huruf Ba, Kaf dan Ra dalam ilmu huruf, memiliki bobot 2 pada eksponensial yang berbeda (2, 20 dan dan 200). Mirah Delima adalah penamaan dari Mim Roh Dal-lima. Mim dalam simbol peta badan adalah pusat (solar plexus menurut peta cakra, atau Tan Thian menurut peta Chi Kung). Dal-lima adalah sebutan mudah bagi Surat al Ikhlas.
---
(Sambungan dari Seloka [Kisah Mirip] Bagian 1 | Blusukan Jokowi)
Kebetulan yang luar biasa
Ada kebetulan yang luar biasa saat saya otak-atik nama-nama pada Seloka [Kisah Mirip] Bagian 1 | Blusukan Jokowi secara huruf Jawa.
Dalam kisah Umar ibn al Khathab hanya menonjolkan sosok Umar.
Umar manjadi Hu Ma Ra
---
Dalam kisah Ratna Mangali, terdapat sosok Calon Arang, Ratna Mangali, Mpu Baradha dan Mpu Bahula
[Calon] Arang menjadi Ha Ra NGa
[Ratna] Mangali menjadi Ma NGa Li
[Mpu] Baradha menjadi Ba Ra Dha
[Mpu] Bahula menjadi Ba Hu La
---
Dalam kisah RM Sahid, hanya menonjolkan sosok Loka[jaya]
Loka[jaya] menjadi Lwa Ka
Foto diunduh dari http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/3/32/Sunan_Kalijaga.jpg pada http://ms.wikipedia.org/wiki/Sunan_Kalijaga
Interpretasi
Humara menjadi Hu Mara atau Hu yang mendekat. Hu? Kita tunda untuk nanti.
---
[Calon] Haranga adalah sosok pemberontak dalam versi sejarah kerajaan Kahuripan/Panjalu/Kediri, masa pemerintahan Airlangga (atau Erlangga). Dan menjadi kode akan datangnya PEMIMPIN bernama [Ken] Haraka (atau Ken Arok). Ken Arok adalah banteng (preman) pasar yang gemar mabuk-mabukan. Untuk melegitimasi kekuasaannya, disebutlah bahwa Ken Arok adalah anak Dewa.
[Mpu] Bahula adalah sosok yang mencuri kitab (titik kekuatan) Calon Arang. Menjadi kode datangnya Bala [tentara] Hu. Hu lagi?
Senada dengan terkonversinya Haranga menjadi Haraka, maka [Ratna] Ma NGa Li menjadi Ma Ka Li.
[Mpu] Ba Ra DHa bertukar suku kata dengan Ma Ka Li menjadi Ba Ra Ka dan Ma Dha Li. Baraka dan Madhali? Kita tunda juga untuk nanti.
---
Lwaka[jaya] (RM Sahid) ternyata adalah juga seorang banteng (preman) pasar atau berandal. Kemudian menjadi seorang begal bernama Baskara[jaya] yang terkenal dengan ilmu kebalnya bernama Mirah Delima. Baskara adalah lafal lidah Jawa, sebenarnya RM Sahid merubah namanya menjadi Ba Ka Ra (Ba Kaf Ra, dalam huruf Hijaiyah). Huruf-huruf Ba, Kaf dan Ra dalam ilmu huruf, memiliki bobot 2 pada eksponensial yang berbeda (2, 20 dan dan 200). Mirah Delima adalah penamaan dari Mim Roh Dal-lima. Mim dalam simbol peta badan adalah pusat (solar plexus menurut peta cakra, atau Tan Thian menurut peta Chi Kung). Dal-lima adalah sebutan mudah bagi Surat al Ikhlas.
Jadi Baraka dan Madhali, adalah anagram dari Ba[s]kara dan [Mirah] Delima.
Bala [tentara] Hu adalah Bala tentara Hu selatan (atau Nan dalam bahasa Cina), yang dipimpin Ike Mese dkk untuk menyerang Raja Jawa, sebagai eksekusi.
Airlangga - Ken Arok - Sunan Kalijaga
Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Ratu Calon Arang, Airlangga memindahkan kerajaan Kahuripan ke ibukota baru, yaitu Daha (Dahanapura). Kemudian mengganti nama kerajaan menjadi Panjalu. Untuk menghindari pertumpahan darah perang saudara, Airlangga mewariskan kerajaannya menjadi dua, yaitu Jenggala (yang terletak di ibukota lama, yaitu Kahuripan) dan Panjalu (terletak di Daha, ibukota baru).
Panjalu kemudian dikenal pula dengan nama Kediri. Saat pemerintahan Sri Jayabaya, Panjalu berhasil menaklukkan Jenggala. Masa itu dikenal sebagai Panjalu Jayati (Panjalu yang menang atau Panjalu yang megah).
Mewarisi sastra peninggalan Airlangga, Sri Jayabaya telah mewaspadai akan kemunculan Ken Arok. Namun Ken Arok muncul saat pemerintahan Kertajaya. Berbeda dengan Airlangga yang dekat dengan Mpu Baradha (sesepuh para kaum brahmana), Kertajaya justru berselisih paham dengan kaum brahmana.
Ken Arok hanyalah seorang banteng (preman) pasar yang gemar mabuk-mabukan. Atas desakan kaum brahmana, Ken Arok setuju untuk memimpin pemberontakan. Untuk mendukung kekuatannya, Ken Arok mencari pusaka, yang ternyata masih dalam masa penyelesaian oleh Mpu Gandring. Karena belum sempurna, Mpu Gandring menolak memberikan keris pusaka itu kepada Ken Arok. Ken Arok tak peduli dan merebut keris itu. Dalam pergumulunan, Mpu Gandring tewas tertusuk keris buatannya sendiri. Sebelum meninggal, Mpu Gandring mengutuk bahwa Ken Arok dan seluruh keturunannya akan binasa oleh keris itu.
Meski telah mendapat keris pusaka, Ken Arok tetap harus memiliki wilayah. Maka dia mendatangi Tunggul Ametung, kuwu Tumapel, tempat dulu Ken Arok pernah mengabdi. Kepada Tunggul Ametung, Ken Arok menyatakan maksudnya, menggantikan Tunggul Ametung sebagai kuwu. Tunggul Ametung tertawa mendengar permintan yang ganjil itu. Karena Ken Arok terus mendesak, Tunggul Ametung pun marah dan terjadilah perang tanding. Tunggul Ametung tewas di tangan Ken Arok. Untuk meredam gejolak, Ken Arok memperistri Ken Dedes, janda Tunggul Ametung.
Dengan memiliki pusaka dan wilayah (meski sebatas dukuh atau pakuwuan), Ken Arok menyatakan perang terhadap Panjalu atau Kediri. Dengan dukungan kaum brahmana dan kekuatan pasukan para banteng (preman) pasar, Ken Arok berhasil memenangkan pertempuran demi pertempuran. Kediri mengaku kalah,
dan melarikan diri ke arah selatan (pantai hutan Purwa).
Ken Arok memulai era baru pemerintahan kerajaan yang diberi nama Singasari. Untuk melegitimasi kekuasaan, Ken Arok dinyatakan sebagai anak Dewa, dan mendapat dukungan penuh dari kaum brahmana. Namun kutukan Mpu Gandring ternyata benar adanya. Ken Arok tewas oleh keris buatan Mpu Gandring itu, di tangan Anusapati (anak tirinya). Anusapati tewas oleh keris yang sama ditikam Tohjaya (anak Ken Arok dari selir). Tohjaya mati oleh keris itu saat terjadi pemberontakan Ranggawuni (anak Anusapati). Ranggawuni kemudian membuang ke laut keris yang memakan banyak tumbal itu. Ranggawuni meninggal dalam damai, digantikan oleh Kertanegara (putranya). Di bawah kepemimpinan Kertanegara, Singasari mengalami kemegahan.
Ketika itu datang utusan Cina-Mongol yang membawa pesan agar raja Jawa tunduk di bawah kekuasaan Cina-Mongol dan diwajibkan memberi upeti. Tentu saja Kertanegara menolak dan mencukur rambut serta memotong daun telinga utusan Cina-Mongol itu. Utusan itu pulang untuk melaporkan tindak "barbar" raja Jawa itu.
Di saat yang hampir bersamaan Kertanegara terusik oleh Kediri yang masih menyimpan dendam keturunan. Kediri, dipimpin oleh Jayakatwang (Jayakatong), Bupati Gelang-gelang, yang sebenarnya masih sepupu Kertanegara, menyerang Singasari saat sebagian besar pasukan Singasari berada di luar Jawa. Kertanegara terbunuh dalam penyerangan itu. Jayakatwang menobatkan diri menjadi Raja Kediri. Keluarga Singasari kocar-kacir melarikan diri. Di bawah pimpinan R Wijaya (bangsawan Pasundan yang menjadi menantu Kertanegara), mereka mencari suaka politik ke Arya Wiraraja (Adipati Madura). Dengan bantuan Arya Wiraraja, R Wijaya mendapat ampunan dari Jayakatwang dan mendapat daerah otonom di sekitar Hutan Tarik, tempat berburu para raja. Oleh R Wijaya, hutan itu kemudian dikelola layaknya sebuah desa, dan manjadi Desa Tarik. Dalam perkembangan berikutnya Desa itu kemudian bernama Majapahit, yang kelak menjadi kerajaan besar di Nusantara.
Bala tentara Hu datang, mendarat di Tuban dan menjarah pelabuhan itu serta merampas perahu-perahu kecil yang kemudian digunakan untuk menyusuri sungai. Tapi ada sebagian pasukan lain yang melalui jalan darat.
Sebenarnya Raja Jawa yang hendak dieksekusi adalah Kertanegara, Raja Singasari. Tapi Kertanegara telah tewas dalam serangan pemberontakan Jayakatwang. Bala tentara Hu, oleh R Wijaya dimanfaatkan untuk menyerang Jayakatwang. Jayakatwang terbunuh oleh Bala tentara Hu. Bala tentara Hu yang kelelahan setelah berperang dengan Kediri, dengan mudah dikalahkan oleh R Wijaya. Sisanya melarikan diri dan dengan susah payah berhasil kembali ke daratan Cina.
Nan (atau selatan) yang tersembunyi dari kode-kode nama pada kisah Mangali putri Calon Arang, menjadi pertanda jalur persembunyian Sunan Kalijaga (dan jalur persembunyian sisa keluarga Kerajaan Kediri).
Keluarga kerajaan Kediri melarikan diri dari serangan Bala tentara Hu ke arah selatan. Mendengar kabar bahwa R Wijaya telah mengalahkan pula Bala tentara Hu, pelarian dilanjutkan pantai Alas Purwa. Kemudian melalui laut selatan berlanjut ke arah barat menuju pantai Tasik Malaya, mengikuti jejak pendahulu mereka (keluarga Kertajaya) yang telah mukim di sekitar wilayah yang tidak jauh dari situ.
Sebagai kerajaan besar, Majapahit selalu diganggu keamanannya oleh bekas tentara Kediri dan keturunannya. Bekas tentara Kediri (tanpa Raja) ini menamakan diri Kedirling atau Kerling.
Menjelang keruntuhan Majapahit (karena silang sengketa antar keluarga kerajaan), dimanfaatkan oleh perusuh Kerling untuk merampok, menjarah dan membunuh secara besar-besaran.
Sebagai kerabat dekat keluarga Majapahit, Sunan Kalijaga memboyong para keluarga besar Majapahit ke Demak Bintara. Namun karena perbedaan keyakinan, Sunan Kalijaga membawa keluarga Majapahit Hindu ke arah selatan bersembunyi dari kejaran perusuh Kerling. Sunan Kalijaga telah mempersiapkan perahu-perahu di pantai Cilacap untuk membawa keluarga Majapahit ke arah timur yaitu pelabuhan Nusa Dua, Bali, yang kemudian mejadi suku Hindu Jawa-Bali. Namun ada pula yang memilih bersembunyi di gunung-gunung selatan Jawa.
Ternyata, Belanda pun menggunakan jalur selatan untuk menyembunyikan kapal-kapal armada dagangnya. Saat itu sudah masa perang dunia II, Jepang masuk ke Indonesia dan mengobrak-abrik kekuatan Belanda. Penyelundupan kapal-kapal dagang Belanda ke Pelabuhan Cilacap, yang kemudian dilanjutkan ke arah Autralia, dikenal dengan Operasi Armada Hitam.
Dalam suatu kisah, disebutkan ada pertemuan gaib antara Sunan Kalijaga dengan R Wijaya, Jayakatwang, Kertajaya, Ken Arok, Sri Jayabaya dan Airlangga. Mereka membahas kembali sastra Serat Calon Arang, di mana Airlangga lebih bertindak sebagai Narasumber. Sri Jayabaya, mengulas secara rincian analitik. Dan Sunan Kalijaga mengasimilasi dengan kisah perjuangan Umar ibn al Khathab. Mereka kemudian merangkum sebagai suatu prediksi (peramalan) kondisi negara dan pemerintahan Nusantara (pada umumnya) dan Jawa (pada khususnya). Diskusi gaib ini, ternyata didengar oleh Sabdo Palon, tanpa sengaja.
Tak kuasa menyimpan rahasia, Sabdo Palon pun bertutur tentang Ramalan Jayabaya.
Semua tulisan di atas adalah wacana saya pribadi. Tak dapat dijadikan patokan untuk tolok ukur sejarah versi manapun. Segala sumber wacana yang terkait, saya rahasiakan demi alasan menghindari fitnah. Meski demikian, anda bisa googling sendiri di situs lain atau cek di Wikipedia dan membandingkan nilai kebenarannya.
Terima kasih.
===
(Sambungan dari Seloka [Kisah Mirip] Bagian 1 | Blusukan Jokowi)
Serat Calon Arang
Kebetulan yang luar biasa
Ada kebetulan yang luar biasa saat saya otak-atik nama-nama pada Seloka [Kisah Mirip] Bagian 1 | Blusukan Jokowi secara huruf Jawa.
Dalam kisah Umar ibn al Khathab hanya menonjolkan sosok Umar.
Umar manjadi Hu Ma Ra
---
Dalam kisah Ratna Mangali, terdapat sosok Calon Arang, Ratna Mangali, Mpu Baradha dan Mpu Bahula
[Calon] Arang menjadi Ha Ra NGa
[Ratna] Mangali menjadi Ma NGa Li
[Mpu] Baradha menjadi Ba Ra Dha
[Mpu] Bahula menjadi Ba Hu La
---
Dalam kisah RM Sahid, hanya menonjolkan sosok Loka[jaya]
Loka[jaya] menjadi Lwa Ka
Interpretasi
Humara menjadi Hu Mara atau Hu yang mendekat. Hu? Kita tunda untuk nanti.
---
[Calon] Haranga adalah sosok pemberontak dalam versi sejarah kerajaan Kahuripan/Panjalu/Kediri, masa pemerintahan Airlangga (atau Erlangga). Dan menjadi kode akan datangnya PEMIMPIN bernama [Ken] Haraka (atau Ken Arok). Ken Arok adalah banteng (preman) pasar yang gemar mabuk-mabukan. Untuk melegitimasi kekuasaannya, disebutlah bahwa Ken Arok adalah anak Dewa.
[Mpu] Bahula adalah sosok yang mencuri kitab (titik kekuatan) Calon Arang. Menjadi kode datangnya Bala [tentara] Hu. Hu lagi?
Senada dengan terkonversinya Haranga menjadi Haraka, maka [Ratna] Ma NGa Li menjadi Ma Ka Li.
[Mpu] Ba Ra DHa bertukar suku kata dengan Ma Ka Li menjadi Ba Ra Ka dan Ma Dha Li. Baraka dan Madhali? Kita tunda juga untuk nanti.
---
Lwaka[jaya] (RM Sahid) ternyata adalah juga seorang banteng (preman) pasar atau berandal. Kemudian menjadi seorang begal bernama Baskara[jaya] yang terkenal dengan ilmu kebalnya bernama Mirah Delima. Baskara adalah lafal lidah Jawa, sebenarnya RM Sahid merubah namanya menjadi Ba Ka Ra (Ba Kaf Ra, dalam huruf Hijaiyah). Huruf-huruf Ba, Kaf dan Ra dalam ilmu huruf, memiliki bobot 2 pada eksponensial yang berbeda (2, 20 dan dan 200). Mirah Delima adalah penamaan dari Mim Roh Dal-lima. Mim dalam simbol peta badan adalah pusat (solar plexus menurut peta cakra, atau Tan Thian menurut peta Chi Kung). Dal-lima adalah sebutan mudah bagi Surat al Ikhlas.
Jadi Baraka dan Madhali, adalah anagram dari Ba[s]kara dan [Mirah] Delima.
Bala [tentara] Hu adalah Bala tentara Hu selatan (atau Nan dalam bahasa Cina), yang dipimpin Ike Mese dkk untuk menyerang Raja Jawa, sebagai eksekusi.
Airlangga - Ken Arok - Sunan Kalijaga
Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Ratu Calon Arang, Airlangga memindahkan kerajaan Kahuripan ke ibukota baru, yaitu Daha (Dahanapura). Kemudian mengganti nama kerajaan menjadi Panjalu. Untuk menghindari pertumpahan darah perang saudara, Airlangga mewariskan kerajaannya menjadi dua, yaitu Jenggala (yang terletak di ibukota lama, yaitu Kahuripan) dan Panjalu (terletak di Daha, ibukota baru).
Panjalu kemudian dikenal pula dengan nama Kediri. Saat pemerintahan Sri Jayabaya, Panjalu berhasil menaklukkan Jenggala. Masa itu dikenal sebagai Panjalu Jayati (Panjalu yang menang atau Panjalu yang megah).
Mewarisi sastra peninggalan Airlangga, Sri Jayabaya telah mewaspadai akan kemunculan Ken Arok. Namun Ken Arok muncul saat pemerintahan Kertajaya. Berbeda dengan Airlangga yang dekat dengan Mpu Baradha (sesepuh para kaum brahmana), Kertajaya justru berselisih paham dengan kaum brahmana.
Ken Arok hanyalah seorang banteng (preman) pasar yang gemar mabuk-mabukan. Atas desakan kaum brahmana, Ken Arok setuju untuk memimpin pemberontakan. Untuk mendukung kekuatannya, Ken Arok mencari pusaka, yang ternyata masih dalam masa penyelesaian oleh Mpu Gandring. Karena belum sempurna, Mpu Gandring menolak memberikan keris pusaka itu kepada Ken Arok. Ken Arok tak peduli dan merebut keris itu. Dalam pergumulunan, Mpu Gandring tewas tertusuk keris buatannya sendiri. Sebelum meninggal, Mpu Gandring mengutuk bahwa Ken Arok dan seluruh keturunannya akan binasa oleh keris itu.
Meski telah mendapat keris pusaka, Ken Arok tetap harus memiliki wilayah. Maka dia mendatangi Tunggul Ametung, kuwu Tumapel, tempat dulu Ken Arok pernah mengabdi. Kepada Tunggul Ametung, Ken Arok menyatakan maksudnya, menggantikan Tunggul Ametung sebagai kuwu. Tunggul Ametung tertawa mendengar permintan yang ganjil itu. Karena Ken Arok terus mendesak, Tunggul Ametung pun marah dan terjadilah perang tanding. Tunggul Ametung tewas di tangan Ken Arok. Untuk meredam gejolak, Ken Arok memperistri Ken Dedes, janda Tunggul Ametung.
Dengan memiliki pusaka dan wilayah (meski sebatas dukuh atau pakuwuan), Ken Arok menyatakan perang terhadap Panjalu atau Kediri. Dengan dukungan kaum brahmana dan kekuatan pasukan para banteng (preman) pasar, Ken Arok berhasil memenangkan pertempuran demi pertempuran. Kediri mengaku kalah,
dan melarikan diri ke arah selatan (pantai hutan Purwa).
Ken Arok memulai era baru pemerintahan kerajaan yang diberi nama Singasari. Untuk melegitimasi kekuasaan, Ken Arok dinyatakan sebagai anak Dewa, dan mendapat dukungan penuh dari kaum brahmana. Namun kutukan Mpu Gandring ternyata benar adanya. Ken Arok tewas oleh keris buatan Mpu Gandring itu, di tangan Anusapati (anak tirinya). Anusapati tewas oleh keris yang sama ditikam Tohjaya (anak Ken Arok dari selir). Tohjaya mati oleh keris itu saat terjadi pemberontakan Ranggawuni (anak Anusapati). Ranggawuni kemudian membuang ke laut keris yang memakan banyak tumbal itu. Ranggawuni meninggal dalam damai, digantikan oleh Kertanegara (putranya). Di bawah kepemimpinan Kertanegara, Singasari mengalami kemegahan.
Ketika itu datang utusan Cina-Mongol yang membawa pesan agar raja Jawa tunduk di bawah kekuasaan Cina-Mongol dan diwajibkan memberi upeti. Tentu saja Kertanegara menolak dan mencukur rambut serta memotong daun telinga utusan Cina-Mongol itu. Utusan itu pulang untuk melaporkan tindak "barbar" raja Jawa itu.
Di saat yang hampir bersamaan Kertanegara terusik oleh Kediri yang masih menyimpan dendam keturunan. Kediri, dipimpin oleh Jayakatwang (Jayakatong), Bupati Gelang-gelang, yang sebenarnya masih sepupu Kertanegara, menyerang Singasari saat sebagian besar pasukan Singasari berada di luar Jawa. Kertanegara terbunuh dalam penyerangan itu. Jayakatwang menobatkan diri menjadi Raja Kediri. Keluarga Singasari kocar-kacir melarikan diri. Di bawah pimpinan R Wijaya (bangsawan Pasundan yang menjadi menantu Kertanegara), mereka mencari suaka politik ke Arya Wiraraja (Adipati Madura). Dengan bantuan Arya Wiraraja, R Wijaya mendapat ampunan dari Jayakatwang dan mendapat daerah otonom di sekitar Hutan Tarik, tempat berburu para raja. Oleh R Wijaya, hutan itu kemudian dikelola layaknya sebuah desa, dan manjadi Desa Tarik. Dalam perkembangan berikutnya Desa itu kemudian bernama Majapahit, yang kelak menjadi kerajaan besar di Nusantara.
Bala tentara Hu datang, mendarat di Tuban dan menjarah pelabuhan itu serta merampas perahu-perahu kecil yang kemudian digunakan untuk menyusuri sungai. Tapi ada sebagian pasukan lain yang melalui jalan darat.
Sebenarnya Raja Jawa yang hendak dieksekusi adalah Kertanegara, Raja Singasari. Tapi Kertanegara telah tewas dalam serangan pemberontakan Jayakatwang. Bala tentara Hu, oleh R Wijaya dimanfaatkan untuk menyerang Jayakatwang. Jayakatwang terbunuh oleh Bala tentara Hu. Bala tentara Hu yang kelelahan setelah berperang dengan Kediri, dengan mudah dikalahkan oleh R Wijaya. Sisanya melarikan diri dan dengan susah payah berhasil kembali ke daratan Cina.
Nan (atau selatan) yang tersembunyi dari kode-kode nama pada kisah Mangali putri Calon Arang, menjadi pertanda jalur persembunyian Sunan Kalijaga (dan jalur persembunyian sisa keluarga Kerajaan Kediri).
Keluarga kerajaan Kediri melarikan diri dari serangan Bala tentara Hu ke arah selatan. Mendengar kabar bahwa R Wijaya telah mengalahkan pula Bala tentara Hu, pelarian dilanjutkan pantai Alas Purwa. Kemudian melalui laut selatan berlanjut ke arah barat menuju pantai Tasik Malaya, mengikuti jejak pendahulu mereka (keluarga Kertajaya) yang telah mukim di sekitar wilayah yang tidak jauh dari situ.
Sebagai kerajaan besar, Majapahit selalu diganggu keamanannya oleh bekas tentara Kediri dan keturunannya. Bekas tentara Kediri (tanpa Raja) ini menamakan diri Kedirling atau Kerling.
Menjelang keruntuhan Majapahit (karena silang sengketa antar keluarga kerajaan), dimanfaatkan oleh perusuh Kerling untuk merampok, menjarah dan membunuh secara besar-besaran.
Sebagai kerabat dekat keluarga Majapahit, Sunan Kalijaga memboyong para keluarga besar Majapahit ke Demak Bintara. Namun karena perbedaan keyakinan, Sunan Kalijaga membawa keluarga Majapahit Hindu ke arah selatan bersembunyi dari kejaran perusuh Kerling. Sunan Kalijaga telah mempersiapkan perahu-perahu di pantai Cilacap untuk membawa keluarga Majapahit ke arah timur yaitu pelabuhan Nusa Dua, Bali, yang kemudian mejadi suku Hindu Jawa-Bali. Namun ada pula yang memilih bersembunyi di gunung-gunung selatan Jawa.
Ternyata, Belanda pun menggunakan jalur selatan untuk menyembunyikan kapal-kapal armada dagangnya. Saat itu sudah masa perang dunia II, Jepang masuk ke Indonesia dan mengobrak-abrik kekuatan Belanda. Penyelundupan kapal-kapal dagang Belanda ke Pelabuhan Cilacap, yang kemudian dilanjutkan ke arah Autralia, dikenal dengan Operasi Armada Hitam.
Dalam suatu kisah, disebutkan ada pertemuan gaib antara Sunan Kalijaga dengan R Wijaya, Jayakatwang, Kertajaya, Ken Arok, Sri Jayabaya dan Airlangga. Mereka membahas kembali sastra Serat Calon Arang, di mana Airlangga lebih bertindak sebagai Narasumber. Sri Jayabaya, mengulas secara rincian analitik. Dan Sunan Kalijaga mengasimilasi dengan kisah perjuangan Umar ibn al Khathab. Mereka kemudian merangkum sebagai suatu prediksi (peramalan) kondisi negara dan pemerintahan Nusantara (pada umumnya) dan Jawa (pada khususnya). Diskusi gaib ini, ternyata didengar oleh Sabdo Palon, tanpa sengaja.
Tak kuasa menyimpan rahasia, Sabdo Palon pun bertutur tentang Ramalan Jayabaya.
Semua tulisan di atas adalah wacana saya pribadi. Tak dapat dijadikan patokan untuk tolok ukur sejarah versi manapun. Segala sumber wacana yang terkait, saya rahasiakan demi alasan menghindari fitnah. Meski demikian, anda bisa googling sendiri di situs lain atau cek di Wikipedia dan membandingkan nilai kebenarannya.
Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Iklan dan Promosi terselubung masih boleh, asal cantumkan komentar yang sesuai tema.
Iklan/promosi yang berlebihan dan komentar yang tidak sesuai tema, akan dihapus.
Komentar spam akan dihapus juga.