Mbah Kuwu Sangkan | Cirebon

Dodi Nurdjaja

Header Ads

728 x 90 ads 728 x 90 ads
Maaf sedang ada penataan ulang label, dalam rangka mau ganti theme/template. Berdampak di Menu Utama.


DMCA.com Protection Status
Copas harus se-izin pemilik konten

Mbah Kuwu Sangkan | Cirebon

Pangeran Cakra Buana menjadi penasehat utama. Oleh masyarakat Cerbon, beliau masih dianggap sebagai kuwu sepuh, dan dikenal dengan nama Mbah Kuwu Sangkan.
---


Jangan ngaku orang Cirebon, kalau tak mengenal Mbah Kuwu Sangkan. :D

Mbah Kuwu Sangkan

Raden Walangsungsang


Mbah Kuwu Sangkan | Cirebon
Gambar diunduh dari https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUpop7Zi2T8tNIXvUsCFdxwlxh60N3pZDaiNCP5rHANeO5K2MxN94wFzeOM49Vt9GYrrbf-hU9wy7BDmi8cDTYHahjGpPNkntiBnw5-uriDvJblBjt12nL3616eyo6LPBj4gveINjrhTU0/s1600/SAMPUL.jpg pada http://gandigrap.blogspot.com/2012/04/caruban-nagari-pangeran-cakabuana.html

Terlahir dengan nama [Raden] Walangsungsang, anak sulung dari tiga bersaudara beserta [Nyi Dewi] Rara Santang atau Lara Santang (Yang kelak bernama Hj. Syarifah Muda’im, setelah ibadah Haji), dan [Raja] Sangara (Yang juga dikenal dengan nama Kian Santang).

Ayahnya adalah Raden Pamanah Rasa, pewaris tahta Pajajaran (Kerajaan Galuh Pakuwuan), yang kelak dikenal dengan dengan nama Prabu Siliwangi. Raden Pamanah Rasa adalah anak dari Prabu Anggalarang, Raja Kerajaan Galuh.

Ibunya bernama Nyi Subanglarang anak dari Syekh Quro (Kerawang). Syekh Quro atau Syekh Hasannudin adalah pemimpin (Kyai) pesantren Quro sekaligus pemimpin di wilayah pelabuhan Kerawang (Qurotul ‘Ain) bergelar Mangkubumi Jumajan Jati. Ternyata, dalam penelusuran berikutnya, Syekh Quro adalah juga seorang raja dari negeri seberang (Kemlaka atau Champa), yang meninggalkan tahta dan keluarganya untuk bertapa. Tempatnya bertapa kemudian diberi nama Nagari Singapura (Martasinga atau Mertasinga), yang menjadi bawahan Kerajaan Galuh. Di sana, beliau dikenal dengan nama Ki Gede[ng] Tapa, tanpa ada yang tahu asal-usul atau nama aslinya. Bertemu kembali dengan puterinya Subanglarang, yang terlahir dengan nama Subang Keranjang, saat puterinya hendak memperdalam agama islam di Pesantren Quro, yang dipimpinnya. (Dalam suatu kisah, diceritakan Syekh Quro mendarat di Kerawang bersama armada ekspedisi Laksamana Muhammad Cheng Ho atau Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong. Tapi dalam versi lain, mengatakan bahwa Syekh Quro dan Ki Gede Tapa adalah orang yang berbeda.)

Sebelum menikah dengan Subanglarang atau Subang Keranjang, Raden Pamanah Rasa telah menikahi sepupunya Nyi Ambet Kasih, putri dari Ki Gedeng Sedhang Kasih atau Ki Gede Sindang Kasih (pemimpin Negeri Surantaka, tetangga Negeri Singapura, yang juga bawahan Kerajaan Galuh. Versi lain mengatakan bahwa Galuh-lah bawahan Sindang Kasih). Ki Gede Sindang Kasih adalah adik dari Prabu Anggalarang. (Dalam suatu legenda, diceritakan bahwa Prabu Anggalarang pernah berkelana sebagai kera, yang dikenal dengan Lutung Kasarung, dan bertemu Puteri Purba Sari, yang kemudian menjadi permaisurinya.)


Ki Samadullah


Dalam pengembaraan spiritualnya, Walangsungsang singgah di rumah Ki Danuwarsih, seorang pendeta Budha. Beberapa hari kemudian datanglah Rara Santang, yang juga meninggalkan keraton, untuk mencari kakaknya. Saking gembiranya bertemu sang adik, Walangsungsang memeluk dan mencium adiknya. Hal ini menimbulkan kecemburuan bagi Nyi Indang Geulis, puteri dari Ki Danuwarsih. Ki Danuwarsih sendiri melihat gelagat puterinya, dan merestui puterinya dinikahi Walangsungsang.

Bersama istri dan adiknya, Walangsungsang melanjutkan perjalanan. Mereka kemudian bermukim di tempat Syekh Datuk Kahfi untuk memperdalam agama Islam. Di sana, Walangsungsang diberi nama Ki Samadullah. Syekh Datuk Kahfi atau dikenal juga dengan nama Syekh Idhopi, adalah penerus kepemimpinan pesantren Amparan Jati di Gunung Jati, menggantikan pemimpin pesantren sebelumnya bernama Syekh Nur Jati.


Mbah Kuwu Cirebon


Atas anjuran gurunya, Walangsungsang menemui Ki Gedeng Alang-alang (Ki Gede Pengalang-alang) untuk membuka daerah baru. Walangsungsang mendirikan Masjid Yang bernama Sang Tajug Jalagrahan, sebagai symbol pusat keagamaan, kemudian lebih dikenal sebagai Masjid Pejalagrahan. Daerah yang baru dibuka ini awalnya bernama Tegal Alang-alang, kemudian dikenal juga dengan sebutan Kebon Pesisir, yang kelak dikenal sebagai pelabuhan Muara Jati. Lalu memindahkan pusat pemukiman ke pedukuhan Lemah Wungkuk. Dalam perkembangan berikutnya, dukuh Lemah Wungkuk menjadi sebuah kota, dengan dukuh atau kampung lain di sekitarnya, dan diberi nama kota Cirebon atau Grage. Walangsungsang dan Ki Gede Pengalang-alang adalah dwitunggal yang tak terpisahkan. Ki Gede Pengalang-alang mendapat sebutan Kuwu Cirebon I, sedangkan Walangsungsang sebagai Kuwu Cirebon II. Dalam perkembangan berikutnya, Kuwu Cirebon II dikenal sebagai Mbah Kuwu Cirebon.

Hari jadi kota Cirebon ditandai pada tanggal 14 Kresna Paksa bulan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Tapi tak jelas benar, apakah itu pada saat membuka wilayah Tegal Alang-alang (Pelabuhan Muara Jati), saat pemindahan pusat pemukiman ke dukuh Lemah Wungkuk, atau saat mendirikan kota Kerajaan (Cirebon).


H. Abdullah Iman


Atas anjuran gurunya pula, Walangsungsang dan Rara Santang pergi ke Tanah Suci. Di Tanah Suci ini, Walang Sungsang berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Sedangkan adiknya, Rara santang, berganti nama menjadi Hj. Syarifah Muda’im.

Hj. Syarifah Muda’im kemudian menikah dengan Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putera Nurul Alim. Kelak akan melahirkan Maulana Syarif Hidayatullah atau dikenal juga dengan nama Sunan Gunung Jati.

Walangsungsang sempat mukim selama tiga bulan di Tanah Suci. Saat itulah beliau belajar tasawuf dari Haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh.


Pangeran Cakra Buana


Kembali ke tanah air, Walangsungsang mendirikan rumah besar. Tapi, tak berapa lama kemudian, terdengar kabar bahwa kakeknya, Ki Gede Tapa (ayah dari Subanglarang) wafat. Walangsungsang mendapat warisan berupa harta dan tahta di wilayah Mertasinga (Nagari Singapura), yang sebenarnya jatuh ke Subanglarang, ibunya.

Sedangkan syahbandar Karawang dan pesantren Quro, diteruskan oleh Musanuddin, cicitnya. Musanuddin dikenal pula dengan beberapa nama, diantaranya, Lebe Musa, Lebe Uca, Syekh Bentong atau Syekh Gentong. Lebe adalah gelar dari masyarakat yang diberikan bagi seorang penghulu agung. (Versi lain mengatakan bahwa Syekh Gentong adalah anak angkat Syekh Quro. Sedangkan penghulu pertama di Karawang adalah Syekh Ahmad, anaknya yang lahir dari pernikannya dengan Retna Sundari.)

Walangsungsang tidak meneruskan kekuasaan di Mertasinga. Beliau memboyong harta warisannya ke Cirebon. Rumah besar yang didirikannya, dijadikan keraton, yang kelak dikenal sebagai Keraton Pakungwati. Walangsungsang pun membentuk pasukan, sebagai Pakuwuan yang berdaulat, yang diberi nama Nagari Carubanlarang. Sejak saat itu, namanya menjadi Pangeran Cakra Buana atau Cakra Bumi.

Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi, merestui dengan memberikan gelar Sri Mangana, dan dianggap sebagai cara untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana.

(Versi lain mengatakan bahwa Walangsungsang mendirikan rumah besar, bersamaan dengan membangun Masjid Sang Tajug Jalagrahan atau Pejalagrahan atau Pesanggrahan.)


Mbah Kuwu Sangkan


Kedatangan Syarif Hidayatullah menandai era baru kekuasaan dan penyebaran Islam di Jawa Barat.

Setelah berguru di berbagai negara, kemudian tiba di Jawa. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke Caruban Larang dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Syarif Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan mengajar Agama Islam, menggantikan Syekh Datuk Kahfi.

Syarif Hidayatullah yang kemudian bergelar Syekh Jati juga mengajar di dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya meninggal, Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati, puteri Pangeran Cakra Buana, disamping menikahi Nyai Lara Bagdad, puteri sahabat Syekh Datuk Kahfi.

Syekh Jati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam di sana. Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah Pangeran Saba Kingkin, kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin pendiri Kerajaan Banten.

Sementara itu Pangeran Cakra Buana meminta Syekh Jati menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullah pun kembali ke Caruban. Di Caruban ia dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sejak itulah, Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon.

Pangeran Cakra Buana menjadi penasehat utama. Oleh masyarakat Cerbon, beliau masih dianggap sebagai kuwu sepuh, dan dikenal dengan nama Mbah Kuwu Sangkan.


Lompat ke:

- "Syekh Nurjati"
- "Kian Santang"
- "Syekh Magelung Sakti"
- "Syekh Magelung (lanjutan)"
- "Nyi Mas Gandasari"
- "Arya Wiralodra"
- "Arya Wiralodra (Bagian 2)"
- "Seloka Bagian 1"
===

Mbah Kuwu Sangkan

===

Baca juga:
- "Jadi, Grage Itu Apanya Cirebon?"

17 komentar:

  1. Assalamu'alaikum wr.wb.
    Perkenalkan nama saya Ahmad Syuja'i/Suja'i Sarifandi asli Cirebon juga, tepatnya di Blok Pesantren al-Jauhariyah-Balerante-Palimanan-Cirebon. Sekarang tinggal di Pekanbaru Riau...
    Setelah membaca tulisan Mas Dodi ttg "Sejarah Cirebon",pertama,ucapan terimakasih&apresiasi saya,kedua klu boleh saya menyampaikan saran dan masukkan tulisan Mas tsb.supaya dilengkapi dg sumber&referensi(bodynote/footnote. Ketiga dlm tulisan tsb ada 2 nama yg tertinggal,yaitu nama Langlang Buana&Syekh Mursyahadatillah, &Sebutan utk "Syekh Datuk Kahfi" mana yg benar "Syekh Datuk Kahfi" atau "Syekh Dzatul Kahfi" (Syek yng tinggal di gua)?Kesuwun.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wa Alaikumus Salam Wr Wb

      Ahlan Kang Ahmad Syuja'i/Suja'i Sarifandi
      1. Terima kasih juga atas apresiasinya kepada tulisan saya. Semoga betah ngoprek tulisan-tulisan saya yang lain (dengan gaya yang berbeda-beda, sehingga saya pun sempat dikritik).
      2. Saran dan masukan tentu sangat berguna untuk saya. Tentunya anda pun telah melihat bagian Disklaimer (Sangkalan) pada Blog saya. Saat saya mengutip atau bersumber pada buku, akan saya tulis Judul buku tersebut. Saat saya mengacu pada tulisan di internet, langsung saya buat link URL ke tempat saya membaca di situs tersebut. Tulisan saya yang ini lebih merupakan pengetahuan yang saya dapat dari tutur nenek saya, ditambah diskusi saya dengan tetangga yang masih keturunan Ki Gede Pekiringan. Tentu saja masih bisa ditelusuri juga referensi buku dan situs internetnya, tapi saya memilih ini tulisan sebagai wacana saya sendiri. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan yang ada.
      3. Memang betul, ada nama-nama tersebut. Bahkan ada pula sebutan lain untuk Walangsungsang, semisal pendekar Gagak Lumayung, ulama pendekar Kian Santang, dll. Sengaja tidak saya sebutkan karena ada kerancuan dengan tokoh-tokoh lain. Insya allah, akan segera menyusul tulisan saya mengenai beberapa kerancuan atau kemiripan nama-nama tokoh ini, kalau mood saya sudah jalan lagi :) . Paling tidak saya sudah merintis dengan tulisan Seloka [Kisah Mirip].
      4. Mungkin saya salah. Nanti akan saya teliti lebih lanjut. Ada cerita yang mengatakan bahwa Syekh Datuk Kahfi adalah juga Syekh Dzatul Kahfi, mewarisi nama dari gurunya (Syekh Dzatul Kahfi). Ada versi yang mengatakan bahwa Syekh Dzatul Kahfi (sang guru) mendapat gelar tersebut karena berusia sangat lanjut (bahkan purwa) sehingga disepadankan dengan Ashabul Kahfi, senada dengan itu, ada versi tentang jelmaan Nabi Uzair bahkan versi Nabi Sis. Ini pun akan saya rangkai (secara bersambung) pada judul Seloka [Kisah Mirip-Nama Mirip-Istilah Mirip].
      Itulah sebabnya saya hanya menampilkan nama-nama yang masih dalam versi umum saja. :)


      Sami-sami kesuwun Kang Ahmad Syuja'i/Suja'i Sarifandi
      TFCC (Thx 4 Come & Comment)

      Hapus
  2. Balasan
    1. Kalo gambar yang tertera, saya unduh dari http://gandigrap.blogspot.com/2012/04/caruban-nagari-pangeran-cakabuana.html (silakan mampir ke sana). Saya sudah minta ijin dari si pemilik blog, gambar cover bukunya saya tampilkan di judul saya ini. Sebelumnya, yang saya tampilkan adalah lukisan foto yang di Wikipedia.

      Saya pernah pegang "Babad Cirebon: Babad Tanah Sunda" mungkin sudah tidak terbit lagi. Saya pun lupa versi mana, karena buku pegangan saya itu pun sudah hilang entah ke mana. Untuk yang "Caruban Nagari" atau "Nagari Carubanlarang" keluaran Keraton Kesepuhan bisa dilihat di scribd, tapi masih berupa syair dan menggunakan bahasa Cirebon Kuno. Yang sudah diterjemahkan, adalah "Babad Cirebon" versi Klayan, bisa dilihat di http://cirebonme.blogspot.com/2008/07/babadcirebonversiklayan.html silakan kunjungi.

      Dalam setiap versi, tentu ada perbedaan-perbedaan. Yang saya tulis di sini, hanyalah hal umum yang ada kesamaan atau kemiripan di setiap versi. Dan saya masih lebih berpegang pada ingatan saya pada cerita dari almarhumah nenek saya. Beruntung saya pun berteman (sudah seperti saudara) dengan beberapa pemegang silsilah Keraton Kesepuhan dan Kanoman, juga yang masih keturunan Ki Gede.

      Hapus
  3. Assalamualaikum kang, saya Didi Dari Matangaji cirebon..mau tanya mengenai sejarah Sultan Sepuh Shafiudin / Matangaji. kalau tidak keberatan silahkan kirim ke email saya..didisuradi@ymail.com tau di FB Didi S Guard.

    Terima kasih,

    Wasslam,

    Didi S Guard

    BalasHapus
  4. "Salam persaudaraan untuk mu orang Cerebon. Wasiat dari Bapak saya sejak kecil (saya Betawi asli) kalau ketemu dengan orang cerebon dia itu adalah saudaramu. Dan 2 kali pernah saya bertemu dengan orang Cerebon berbeda waktu dan tempat juga orang, tepatnya waktu saya usia remaja orang cerebon itu pun bilang tanpa saya memulai duluan berbicara, dia bilang seperti ini saya orang cerebon ke Jakarta pesan dari orang tua saya adalah kalau ketemu dengan orang betawi itulah saudaramu. inilah yg bikin saya pusing apa maksudnya setelah mencari sejarah2 hubungan Betawi Cerebon jika dianggap saudara atau adik kakak sepertinya kode salam murid-murid Walang Sungsang anak laki-laki tertua Prabu Siliwangi yg menjadi raja cerebon dan berdawah di cerebon bersama Larasantang (Ibu Sunan Gunung Jati) yang semua adalah kakak dari kian santang yg dimana Kian Santang dan para muridnya banyak berdakwah ditanah Betawi. Alhamdulillah deh jika kakek leluhur saya murid Raden Kian Santang " (ini adalah update status facebook saya, salam santun). mungkin saudara disini ada yg bisa membantu mengartikannya selain versi saya ini ??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam juga untukmu Saudaraku.
      Versi 1:
      Pada artikel saya di atas, tertulis
      "Ibunya bernama Nyi Subanglarang anak dari Syekh Quro (Kerawang). Syekh Quro atau Syekh Hasannudin adalah pemimpin (Kyai) pesantren Quro sekaligus pemimpin di wilayah pelabuhan Kerawang (Qurotul ‘Ain) bergelar Mangkubumi Jumajan Jati. Ternyata, dalam penelusuran berikutnya, Syekh Quro adalah juga seorang raja dari negeri seberang (Kemlaka atau Champa), yang meninggalkan tahta dan keluarganya untuk bertapa. Tempatnya bertapa kemudian diberi nama Nagari Singapura (Martasinga atau Mertasinga), yang menjadi bawahan Kerajaan Galuh. Di sana, beliau dikenal dengan nama Ki Gede[ng] Tapa, tanpa ada yang tahu asal-usul atau nama aslinya. Bertemu kembali dengan puterinya Subanglarang, yang terlahir dengan nama Subang Keranjang, saat puterinya hendak memperdalam agama islam di Pesantren Quro, yang dipimpinnya. (Dalam suatu kisah, diceritakan Syekh Quro mendarat di Kerawang bersama armada ekspedisi Laksamana Muhammad Cheng Ho atau Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong. Tapi dalam versi lain, mengatakan bahwa Syekh Quro dan Ki Gede Tapa adalah orang yang berbeda.)"
      Bandingkan pula pada artikel saya http://dodi-nurdjaja.blogspot.com/2013/07/macan-putih-2.html
      Katakanlah, saya ambil versi bahwa Syekh Quro adalah orang yang sama dengan Ki Gedeng Tapa.
      Maka Syekh Quro adalah ayah Nyi Subanglarang, atau bapak mertua Prabu Siliwangi. Wilayah dakwahnya sampai ke seluruh utara Gunung Salak hingga pesisir Tamgara/Tangerang (berarti seluruh wilayah DKI Jakarta sekarang masuk dalam cakupan wilayah dakwahnya saat itu). Beliau juga mempersatukan kembali orang-orang yang pernah tercerai berai dari bekas kerajaan Hindu Indra Prahasta (simbol Macan Putih).
      Di beberapa tempat, Syekh Quro menikah dengan wanita lokal.
      Artinya, anak-anak Syekh Quro dari beberapa wanita lokal, adalah saudara tiri Nyi Subanglarang.
      Pada keturunan berikutnya (termasuk anak-anak Prabu Siliwangi dari Nyi Subanglarang) adalah sesama cucu Syekh Quro.
      (simbol Macan Putih atau Maung Bodas)
      .
      Versi 2:
      Pada artikel http://dodi-nurdjaja.blogspot.com/2013/05/seloka-nama-mirip-bagian-6-kian-santang.html saya memaparkan sejumlah kemiripan nama Kian Santang sejak zaman Darmawarman Aji Gapura sebagai raja pertama Kerajaan Salaka Negara (berlokasi di sekitar lereng gunung Salak) hingga Raja Sangara (adik Mbah Kuwu Sangkan dan Rara Santang). Maka, nama Kian Santang adalah juga pengikat atau simbol tali persaudaraan di tanah Sunda sejak zaman Darmawarman Aji Gapura.
      .
      Versi 3:
      Pada artikel saya tentang Sintren (diawali dari http://dodi-nurdjaja.blogspot.com/2013/06/sintren-1.html), akan terlihat hubungan para penyandang nama Pangeran Jayakarta, dan cuplikan "Di Balik Nama Betawi". Terkait dengan itu ada juga artikel http://dodi-nurdjaja.blogspot.com/2012/11/ronggeng-bugis.html dan http://dodi-nurdjaja.blogspot.com/2013/06/seloka-kisah-mirip-bagian-7-bokor.html (yang berlanjut ke http://dodi-nurdjaja.blogspot.com/2013/06/untold-story-arya-kemuning-pangeran.html).
      (memperkuat kembali tali persaudaraan).
      .
      Barakallah
      Wallahu 'alam bisawab

      Hapus
  5. Mas Dodi Nurdjaja,
    Terima kasih..
    Blognya mas sangat mendalam, saya akan tambahkan refrensi lebih banyak untuk memperkaya pengetahuan tentang Cirebon khususnya sejarah dan pernak perniknya.
    Sangat menarik dan membuka pemikiran kami tentang Cirebon, terima kasih banyak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih kembali, Mas Adm CC (Cirebon Cakrabuana).
      Yang saya lakukan sekedar mendokumentasikan kembali cerita, legenda, hikayat dan dongeng yang pernah saya dengar. Blog anda pun merupakan referensi yang menarik.
      Semoga yang kita lakukan ini berguna bagi segenap keturunan kita kelak (Cirebon pada khususnya), agar tak lupa kepada sejarah dan akar budaya Cirebon sendiri.

      TFCC (Thanks for Come & Comment)

      Hapus
  6. Yang ingin saya tanyakan ada hubungan ataupun sangkut paut ga si, antara Mbah kuwu Sangkan atau pangeran cakrabuana dengan Nyi mas Gandasari ? mohon penjelasannya makasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dalam sejarah resmi, sepertinya tidak ada penjelasan. Sebenarnya saya ingin menuliskan hubungan itu dalam beberapa tulisan tentang asal-usul dan sepak terjang Nyi Mas Gandasari, tentu saja berdasarkan tutur yg pernah saya dengar. Dan kalau tak salah, ada juga dalam Babad.
      Nyi Mas Gandasari adalah anak angkat Mbah Kuwu Sangkan. Meski secara usia lebih tepat sebagai cucu angkat.

      TFCC

      Hapus
  7. Terima kasih banyak atas postingannya terkait sosok mbah kusangkan sangat membantu mas dodi suwun....ijin untuk share y...

    BalasHapus
  8. Terima kasih banyak atas postingannya terkait sosok mbah kusangkan sangat membantu mas dodi suwun....ijin untuk share y...

    BalasHapus
  9. Assalamu'alaikum,,, kang Dodi mohon informasinya mengenai sosok ki gedeng selapandan,,,
    terimakasih wassalamu'alaikum wrwb

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikum salam kang Asep.
      Sepertinya, yang bertanya lebih tahu dari yang ditanya. :D
      Ini memang informasi yang tercecer. Beberapa versi menyebutkan nama Ki gede[ng]/Ageng Selapandan adalah nama lain H Abdullah Iman (atau Walangsungsang), saat mukim di di Pandanjalmi, yang kemudian berubah menjadi Panguragan.

      Dalam Babad Cirebon versi Klayan, Pupuh kesebelas:

      =========
      Dangdanggula, 12 bait. Abdul Iman melanjutkan perjalanannya mengembara sebagai pencari ikan, sementara Syekh Bayan pergi ke Gunung Gajah. Di tengah perjalanan, Abdul Iman teringat kepada gurunya, lalu ia kembali ke Panjunan untuk menemui gurunya, juga istrinya. Akan tetapi, ternyata gurunya tidak ada, dan yang ada hanyalah sepucuk surat yang ditinggalkan syekh Datuk Kahfi. Isi surat itu : jika ingin bertemu dengannya, hendaklah menyusul ke Pandanjalmi.

      Ketika ia hendak pergi lagi mengembara, ia menyerahkan sebuah peti kepada istrinya dengan pesan : “Kelak, jika datang seorang pemuda dari Mekah, dan tinggal di Gunung Jati, serahkanlah peti itu kepadanya. Jika anak yang dalam kandunganmu lahir perempuan, berilah nama Pakungwati. Jika yang lahir laki-laki terserah. Ibu dan anak hendaklah berguru kepada pemuda yang berasal dari Mekah itu”.

      Abdul Iman pergi ke Pandanjalmi dan bertapa di Sendang, dan menamakan dirinya Ki Gede Selapandan. Ia bertani sambil mengasuh anak angkatnya yang bernama Nyi Wanasaba. Ketika ia pindah ke Lebaksungsang, anaknya berganti nama menjadi Nyi Gandasari dan ketika dukuhnya semakin besar, ia namakan desa Panguragan. Ia percayakan desa itu kepada anaknya, Ratu Emas Gandasari, yang juga terkenal dengan nama Nyi Gede Panguragan.
      =========

      Mohon maaf, jika ada kesalahan.

      TFCC
      Wassalam

      Hapus
  10. Kaya pernah baca di Babad Tanah Padjadjaran karya PS.Sulendraningrat,

    BalasHapus

Iklan dan Promosi terselubung masih boleh, asal cantumkan komentar yang sesuai tema.
Iklan/promosi yang berlebihan dan komentar yang tidak sesuai tema, akan dihapus.
Komentar spam akan dihapus juga.

Copyright © 2011 Dodi®Nurdjaja™ . Diberdayakan oleh Blogger.