Melihat lonjakan jumlah tayang (dengan sumber lalulintas teratas dari Facebook dan mFacebook) pada postingan Sintren, ada perasaan senang bahkan bangga telah memposting itu. Terlebih, setelah membaca komentar dari ‘tommy the warrior’. Tapi mendadak, ada rasa khawatir. Khawatir jika pada postingan berikutnya, tulisan saya akan mengecewakan.
Sintren [Behind The Screen]
Foto diunduh dari
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/c/c9/Seni_Sintren.jpg
pada Sintren menurut Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Sintren)
Benar yang dikatakan ‘TommytheWarrior’ dalam komentar di “Sintren (5)” bahwa "membuat suatu tulisan sejarah sebetulnya tidak sulit di jaman ini. mbah Google menyediakan bahan baku apa pun yang kita inginkan sepanjang kita tahu bagaimana cara memintanya."
Saya mulai menulis dari apa yang saya tahu. Ketika saya mentok atau kehilangan mood, saya baca ulang. Kadang saya tata kembali urutan plot penulisannya. Biasanya inspirasi saya jalan lagi dan saya meneruskan penulisan.
Untuk melengkapi tulisan tersebut, barulah saya menggunakan tongkat google. Awalnya saya googling “Sintren”. Satu persatu saya buka di tab baru.
Sempat saya agak kecewa, karena latar belakang cerita atau sejarah Sintren versi umum, tidak bersesuaian dengan yang saya dengar dari nenek saya. Kemudian saya googling “fatahillah pangeran jayakarta”. Ternyata tak ditemukan tulisan yang menghubungkan ke Sintren.
Karena terlalu banyak tab yang dibuka, komputer saya jadi amat sangat lemot sekali. Maklum rig saya LGA Pentium 4. Ga bisa diotak-atik lagi overclock-nya karena sudah bawaan arsitektur LG. Ditambah lagi, koneksi internet saya cuma mengandalkan modem USB. Meskipun keluaran Smart dengan kecepatan EV-DO atau setara 3,5 G, tapi dengan rig Pentium 4, apa mau dikata.
Kalau saja komputer saya dengan prosesor Intel Core dengan rig yang bisa diotak-atik overclock-nya, lain cerita. Saya tinggal me-markah setiap web atau blog yang saya buka. Sehingga, setiap kali saya butuh membaca untuk (sekedar menyegarkan mood atau memang mencari info yang tercecer) saya tinggal klik markah dan baca. Tapi dengan keterbatasan alat yang saya punya, terpaksa teknik markah saya ganti dengan copas (copy-paste) ke dokumen Microsoft Office, sambil copas juga alamat URL-nya.
Dengan teknik itu, saya bisa bolak-balik antara menulis dan membaca secara offline.
Yang menarik adalah ketika saya mendapat tampilan pdf (bukan html atau php) dari repository.upi.edu (alamat lengkap dan nama filenya saya lupa), mendapatkan penulisan ilmiah khusus halaman Bab II. Lupa dengan teknik copas (apalagi markah), alamat URL-nya langsung saya potong menjadi http:// repository.upi.edu/ kemudian saya tekan “Enter”. Ternyata saya harus login. Dan kalau tidak salah, tidak disertakan tombol daftar (sign up) di sana. Ini apa-apaan, pikir saya. Di-googling saja file pdf-nya bisa nongol, giliran masuk ke root-nya malah diproteksi.
Untunglah tongkat google memiliki syntax filetype (syntax favorit saya). Saya googling dengan “repository.upi.edu/ filetype:pdf sintren”, dan semua pdf-nya tinggal saya klik. Ternyata banyak sekali. Dan saya pun malas membaca tatanan tulisan ilmiah sebanyak itu. Maka tak ada satu pun, yang saya buka untuk saya copas. (Bagi yang sudah mahir, syntax ini bisa digunakan untuk koneksi ke beberapa cctv, apalagi cctv umum. Bahkan bisa mendapatkan live streaming dan mengatur zoom-nya. Tapi saya belum se-mahir itu.)
Sedemikian jauh saya googling “sintren”, saya hanya menemukan versi-versi sejarah yang berkaitan dengan kisah kasih antara Raden Sulandono dengan Sulasih, dengan perbedaan kecil pada masing-masing versi. Versi yang lain dari Cirebon mengatakan, sintren tercipta sebagai keisengan para istri nelayan menunggu suaminya pulang melaut. Ini malah terlepas jauh dari versi umum.
Saya khusus googling tentang “cirebon budaya nelayan”. Beragam kisah saya dapatkan. Tapi tidak hanya berkaitan dengan sintren, dan belum ada yang seperti saya harapkan.
Saya kembali googling “Sintren”. Tapi kali ini, saya tidak hanya melihat hasil tampilan teratas. Saya klik satu demi satu yang belum saya copas. Akhirnya ada juga versi lain yang saya temukan.
Versi yang bercerita tentang Bahureksa (atau Baurekso) yang gagal dalam menyerang Batavia. Bahureksa lari ke Pekalongan karena malu untuk kembali ke Mataram. Istrinya, Rantamsari, mendapat kabar bahwa suaminya gugur. Maka berangkatlah Rantamsari mencari jejak kematian suaminya. Berbekal sapu tangan pemberian suaminya, Rantamsari menyamar sebagai rombongan penari Sintren.
Banyak diantaranya hanya berupa copas mentah-mentah seluruh isi dari postingan http://semangkukbakmie.blogspot.com/2007/10/sejarah-penari-sintren.html yang Alexa traffic rank blog-nya tanpa angka. Justru beberapa yang meng-copas (sambil menyertakan sumber) memiliki nilai Alexa traffic rank yang lumayan bagus. Blog http://semangkukbakmie.blogspot.com/ sendiri, sebenarnya hanya mengulas sintren sebagai bagian dari filosofi disain rokok ber-merk sintren.
Berangkat dari sejarah sintren versi kisah itu, saya googling “baurekso batavia”, “bahurekso batavia” dan “bahureksa batavia”. Semuanya saya copas ke dokumen Office. Lebih jauh dari itu, untuk lebih mengenal Bahureksa, saya googling “baurekso”, “bahurekso” dan “bahureksa”. Di situ banyak mengaitkan dengan Pekalongan.
Berkenaan dengan Sultan Agung dan Mataram sendiri, lebih banyak saya copas dari Wikipedia. Dari yang berkenaan dengan permusuhan dengan Banten, perang dengan Surabaya maupun kegagalan dalam menyerang Batavia. Kemudian saya link “Sultan Agung” ke web/blog “The Aroengbinang Project”, agar yang membuka link ke sana mendapat suasana petualangan.
Dalam kondisi offline, saya baca satu demi satu. Dari masing-masing versi, saya tulis ulang dengan analisa yang masih mungkin masuk logika. Kemudian saya baca kembali sambil membandingkan kronologi waktunya (secara angka tahun). Selebihnya saya ambil dari peredaran cerita, hikayat atau dongeng yang pernah saya dengar.
Kemudian saya googling “batavia 1628”. Saya hanya mengambil (http://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_Besar_di_Batavia) untuk saya copas.
Dalam logika saya, kalau menyangkut Batavia, pastilah berkenaan dengan Pangeran Jayakarta. Apalagi, masih berhubungan dengan Banten, yang juga dalam rencana penyerangan oleh Mataram. Maka saya googling semua kemungkinan kata kunci yang mengarah ke situ. Hasilnya adalah rajutan analisa yang saya paparkan di sub judul “Simpang Siur Nama Pangeran Jayakarta”, dengan analisa perbandingan bukti letak-letak makam berdasarkan nama yang terkait. Itupun, saya masih belum menemukan siapa “Tubagus Angke” yang sesungguhnya.
Tanpa sengaja saya menemukan postingan seorang Kaskuser, di forum yang sedang membahas “Sastra Puisi Sunda Bogor”.
Di rebutnya Sunda Kalapa sampai saat ini masih jd perdebatan siapa sebenarnya yg merebut Sunda Kalapa itu, apakah Fatahillah atau Jayakarta, versi kubu Fatahillah yg membawa Cirebon, merekalah yg merebut Sunda Kalapa dan mengganti Sunda Kalapa dengan nama Jayakarta, klain mereka itu berdasarkan cerita Cirebon.
Sedangkan kubu Jayakarta yg membawa Banten mengkalim merekalah yg merebut Sunda Kelapa didukung oleh naskah Poirtugis ( tp maaf ane lupa namanya waktu itu search di google ) dan juga mereka berpendapat Fatahillah hadir di tanah Betawi itu pd saat jaman Belanda.
Ada satu catatan Tome Pires (abad 15) dan Carita Purwaka yg menyinggung ttg Sunda Kalapa, yg terdapat kerajaan lokal yg bernama Tanjung Jaya dengan Rajanya Sangketi atau Uwa Item atau Batara Katong yg memerintah di sekitar Muara Angke, Tanjung Jaya ini adalah Kerajaan yg tergabung pd Pajajaran. Dikisahkan Uwa Item ini tewas ketika perang melawan Jayakarta dan dalam naskah itu lebih menyinggung ttg Jaya Karta yg merebut Sunda Kalapa.
Juga tanpa sengaja, saya menemukan postingan seseorang dari milis (forum cina, kalau tidak salah).
1. Pangeran Jayakarta I (Fatahillah dimakamkan di Cirebon) di salah satu versi bermantukan / pun memberikan kepemimpinan atas kota Jakarta pada :
2. Pangeran Jayakarta II (Tubagus Angke / Pangeran Djaya Ki Gedeng Angke bin Pangeran Panjunan, dimakamkan di komplek Masjid Angke) beranak:
3. Pangeran Jayakarta III (Pangeran Sungerasa Wijayakrama / Pangeran Wijayakarta dimakamkan di Tanara-Banten) beranak :
Pangeran Jayakarta yg paling umum dikenal :
4. Pangeran Jayakarta IV (Pangeran Ahmad Jaketra, dimakamkan di Jatenegara Kaum Jakarta) beranak:
5. Pangeran Jayakarta V (Pangeran Padmanegara, Jatinegara Kaum) beranak:
6. Pangeran Jayakarta VI (Pangeran Lahut, Jatinegara Kaum)
Inilah mata rantai yang hilang. Kedua postingan ini sudah saya copas. Ketika hendak saya copas nama-nama pemostingnya, komputer saya sudah hang. Terpaksa saya restart dengan tombol on/off, dan saya tidak menemukan jejak di mana tadi saya menemukan postingan kaskuser dan milis yang saya copas. Secara offline, saya rajut ‘penemuan’ ini tanpa menyebut sumber. Saya pikir, biarlah saya tanggung sendiri akibatnya, toh postingan yang saya buat untuk tujuan berbagi pengetahuan. Dan untuk pengalihan, saya kasih link ke “The Aroengbinang Project” lagi.
Rajutan berikutnya benar-benar murni rekaan saya, karena saya merasa janggal dengan sapu tangan yang dibawa Rantamsari. Untuk apa Rantamsari menyamar sebagai penari sintren sambil membawa sapu tangan?
Berbekal bahan bacaan pada googling “cirebon budaya nelayan”, saya menangkap filosofinya. Saya kembangkan sebagai seni dan sastra yang menyembunyikan kode-kode peperangan. Seperti dalam kisah “1001 Malam” yang merupakan cerita berbingkai, ketika satu sama lain disatukan, menjadi sebuah strategi perang.
Jadilah, saya rajut cerita pertemuan Rantamsari dengan sisa-sisa pasukan Pangeran Jayakarta yang tercecer. Saya merubah dari versi Rantamsari menyamar sebagai penari sintren, menjadi penari ronggeng. Perubahan menjadi sintren adalah berkat pertemuannya dengan sisa-sisa pasukan Pangeran Jayakarta itu. Hanya inilah yang tidak terdapat dalam sejarah sintren versi mana pun.
Akan halnya versi tentang Raden Sulandono dan Sulasih, saya hanya mengembang sedikit dari berbagai versi yang ada, disesuaikan menurut logika yang seharusnya terjadi.
Saya tata kembali plot-plot ceritanya dengan pembabakan yang enak untuk dibaca, minimal menurut saya. Setelah semua tertata, saya pastikan kembali bahwa bagian-bagian penting dalam sejarah yang saya tulis, menyertakan sumber utama. Akan halnya urutan prosesi sintren, pengalaman saya sendirilah yang menjadi referensinya.
Untuk sekedar apologi, saya menyisipkan “nilai ulangan Pelajaran Sejarah saya saat SMP jeblok, ketika bahasan yang ini” dengan maksud bahwa saya memang bukan orang yang pandai sejarah. Bahkan saya perkuat dengan me-link profil Facebook guru SMP saya.
Saya sendiri tak mengira kalau tulisannya akan sepanjang itu. Jauh lebih panjang dari tulisan “Ronggeng Bugis”. Pun ketika tulisan ini sudah tayang, ternyata mendapat respon yang membuat saya terharu. Saya sendiri tak percaya kalau tulisan “Sintren” ini jadi menarik bagi orang lain. Saya pikir, mungkin karena “Sintren” sudah langka. Jadi pembaca yang baru tahu sintren lewat tulisan saya, terkagum-kagum.
Karena itulah saya jadi ragu untuk membuat postingan lain. Apalagi jika yang saya tulis adalah makanan keseharian Cirebon, seperti misalnya “tahu gejrot” atau “empal gentong” (yang sekarang sudah banyak ditemui di kota-kota lain selain Cirebon). Saya khawatir akan dianggap ‘terlalu biasa’ atau malah ‘tidak berbobot’.
Tapi mungkin tak ada salahnya saya coba. Sampai bertemu di postingan saya yang lain.
Terima kasih
=====
Sintren [Behind The Screen]
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/c/c9/Seni_Sintren.jpg
pada Sintren menurut Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Sintren)
Benar yang dikatakan ‘TommytheWarrior’ dalam komentar di “Sintren (5)” bahwa "membuat suatu tulisan sejarah sebetulnya tidak sulit di jaman ini. mbah Google menyediakan bahan baku apa pun yang kita inginkan sepanjang kita tahu bagaimana cara memintanya."
Saya mulai menulis dari apa yang saya tahu. Ketika saya mentok atau kehilangan mood, saya baca ulang. Kadang saya tata kembali urutan plot penulisannya. Biasanya inspirasi saya jalan lagi dan saya meneruskan penulisan.
Untuk melengkapi tulisan tersebut, barulah saya menggunakan tongkat google. Awalnya saya googling “Sintren”. Satu persatu saya buka di tab baru.
Sempat saya agak kecewa, karena latar belakang cerita atau sejarah Sintren versi umum, tidak bersesuaian dengan yang saya dengar dari nenek saya. Kemudian saya googling “fatahillah pangeran jayakarta”. Ternyata tak ditemukan tulisan yang menghubungkan ke Sintren.
Karena terlalu banyak tab yang dibuka, komputer saya jadi amat sangat lemot sekali. Maklum rig saya LGA Pentium 4. Ga bisa diotak-atik lagi overclock-nya karena sudah bawaan arsitektur LG. Ditambah lagi, koneksi internet saya cuma mengandalkan modem USB. Meskipun keluaran Smart dengan kecepatan EV-DO atau setara 3,5 G, tapi dengan rig Pentium 4, apa mau dikata.
Kalau saja komputer saya dengan prosesor Intel Core dengan rig yang bisa diotak-atik overclock-nya, lain cerita. Saya tinggal me-markah setiap web atau blog yang saya buka. Sehingga, setiap kali saya butuh membaca untuk (sekedar menyegarkan mood atau memang mencari info yang tercecer) saya tinggal klik markah dan baca. Tapi dengan keterbatasan alat yang saya punya, terpaksa teknik markah saya ganti dengan copas (copy-paste) ke dokumen Microsoft Office, sambil copas juga alamat URL-nya.
Dengan teknik itu, saya bisa bolak-balik antara menulis dan membaca secara offline.
Yang menarik adalah ketika saya mendapat tampilan pdf (bukan html atau php) dari repository.upi.edu (alamat lengkap dan nama filenya saya lupa), mendapatkan penulisan ilmiah khusus halaman Bab II. Lupa dengan teknik copas (apalagi markah), alamat URL-nya langsung saya potong menjadi http:// repository.upi.edu/ kemudian saya tekan “Enter”. Ternyata saya harus login. Dan kalau tidak salah, tidak disertakan tombol daftar (sign up) di sana. Ini apa-apaan, pikir saya. Di-googling saja file pdf-nya bisa nongol, giliran masuk ke root-nya malah diproteksi.
Untunglah tongkat google memiliki syntax filetype (syntax favorit saya). Saya googling dengan “repository.upi.edu/ filetype:pdf sintren”, dan semua pdf-nya tinggal saya klik. Ternyata banyak sekali. Dan saya pun malas membaca tatanan tulisan ilmiah sebanyak itu. Maka tak ada satu pun, yang saya buka untuk saya copas. (Bagi yang sudah mahir, syntax ini bisa digunakan untuk koneksi ke beberapa cctv, apalagi cctv umum. Bahkan bisa mendapatkan live streaming dan mengatur zoom-nya. Tapi saya belum se-mahir itu.)
Sedemikian jauh saya googling “sintren”, saya hanya menemukan versi-versi sejarah yang berkaitan dengan kisah kasih antara Raden Sulandono dengan Sulasih, dengan perbedaan kecil pada masing-masing versi. Versi yang lain dari Cirebon mengatakan, sintren tercipta sebagai keisengan para istri nelayan menunggu suaminya pulang melaut. Ini malah terlepas jauh dari versi umum.
Saya khusus googling tentang “cirebon budaya nelayan”. Beragam kisah saya dapatkan. Tapi tidak hanya berkaitan dengan sintren, dan belum ada yang seperti saya harapkan.
Saya kembali googling “Sintren”. Tapi kali ini, saya tidak hanya melihat hasil tampilan teratas. Saya klik satu demi satu yang belum saya copas. Akhirnya ada juga versi lain yang saya temukan.
Versi yang bercerita tentang Bahureksa (atau Baurekso) yang gagal dalam menyerang Batavia. Bahureksa lari ke Pekalongan karena malu untuk kembali ke Mataram. Istrinya, Rantamsari, mendapat kabar bahwa suaminya gugur. Maka berangkatlah Rantamsari mencari jejak kematian suaminya. Berbekal sapu tangan pemberian suaminya, Rantamsari menyamar sebagai rombongan penari Sintren.
Banyak diantaranya hanya berupa copas mentah-mentah seluruh isi dari postingan http://semangkukbakmie.blogspot.com/2007/10/sejarah-penari-sintren.html yang Alexa traffic rank blog-nya tanpa angka. Justru beberapa yang meng-copas (sambil menyertakan sumber) memiliki nilai Alexa traffic rank yang lumayan bagus. Blog http://semangkukbakmie.blogspot.com/ sendiri, sebenarnya hanya mengulas sintren sebagai bagian dari filosofi disain rokok ber-merk sintren.
Berangkat dari sejarah sintren versi kisah itu, saya googling “baurekso batavia”, “bahurekso batavia” dan “bahureksa batavia”. Semuanya saya copas ke dokumen Office. Lebih jauh dari itu, untuk lebih mengenal Bahureksa, saya googling “baurekso”, “bahurekso” dan “bahureksa”. Di situ banyak mengaitkan dengan Pekalongan.
Berkenaan dengan Sultan Agung dan Mataram sendiri, lebih banyak saya copas dari Wikipedia. Dari yang berkenaan dengan permusuhan dengan Banten, perang dengan Surabaya maupun kegagalan dalam menyerang Batavia. Kemudian saya link “Sultan Agung” ke web/blog “The Aroengbinang Project”, agar yang membuka link ke sana mendapat suasana petualangan.
Dalam kondisi offline, saya baca satu demi satu. Dari masing-masing versi, saya tulis ulang dengan analisa yang masih mungkin masuk logika. Kemudian saya baca kembali sambil membandingkan kronologi waktunya (secara angka tahun). Selebihnya saya ambil dari peredaran cerita, hikayat atau dongeng yang pernah saya dengar.
Kemudian saya googling “batavia 1628”. Saya hanya mengambil (http://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_Besar_di_Batavia) untuk saya copas.
Dalam logika saya, kalau menyangkut Batavia, pastilah berkenaan dengan Pangeran Jayakarta. Apalagi, masih berhubungan dengan Banten, yang juga dalam rencana penyerangan oleh Mataram. Maka saya googling semua kemungkinan kata kunci yang mengarah ke situ. Hasilnya adalah rajutan analisa yang saya paparkan di sub judul “Simpang Siur Nama Pangeran Jayakarta”, dengan analisa perbandingan bukti letak-letak makam berdasarkan nama yang terkait. Itupun, saya masih belum menemukan siapa “Tubagus Angke” yang sesungguhnya.
Tanpa sengaja saya menemukan postingan seorang Kaskuser, di forum yang sedang membahas “Sastra Puisi Sunda Bogor”.
Di rebutnya Sunda Kalapa sampai saat ini masih jd perdebatan siapa sebenarnya yg merebut Sunda Kalapa itu, apakah Fatahillah atau Jayakarta, versi kubu Fatahillah yg membawa Cirebon, merekalah yg merebut Sunda Kalapa dan mengganti Sunda Kalapa dengan nama Jayakarta, klain mereka itu berdasarkan cerita Cirebon.
Sedangkan kubu Jayakarta yg membawa Banten mengkalim merekalah yg merebut Sunda Kelapa didukung oleh naskah Poirtugis ( tp maaf ane lupa namanya waktu itu search di google ) dan juga mereka berpendapat Fatahillah hadir di tanah Betawi itu pd saat jaman Belanda.
Ada satu catatan Tome Pires (abad 15) dan Carita Purwaka yg menyinggung ttg Sunda Kalapa, yg terdapat kerajaan lokal yg bernama Tanjung Jaya dengan Rajanya Sangketi atau Uwa Item atau Batara Katong yg memerintah di sekitar Muara Angke, Tanjung Jaya ini adalah Kerajaan yg tergabung pd Pajajaran. Dikisahkan Uwa Item ini tewas ketika perang melawan Jayakarta dan dalam naskah itu lebih menyinggung ttg Jaya Karta yg merebut Sunda Kalapa.
Juga tanpa sengaja, saya menemukan postingan seseorang dari milis (forum cina, kalau tidak salah).
1. Pangeran Jayakarta I (Fatahillah dimakamkan di Cirebon) di salah satu versi bermantukan / pun memberikan kepemimpinan atas kota Jakarta pada :
2. Pangeran Jayakarta II (Tubagus Angke / Pangeran Djaya Ki Gedeng Angke bin Pangeran Panjunan, dimakamkan di komplek Masjid Angke) beranak:
3. Pangeran Jayakarta III (Pangeran Sungerasa Wijayakrama / Pangeran Wijayakarta dimakamkan di Tanara-Banten) beranak :
Pangeran Jayakarta yg paling umum dikenal :
4. Pangeran Jayakarta IV (Pangeran Ahmad Jaketra, dimakamkan di Jatenegara Kaum Jakarta) beranak:
5. Pangeran Jayakarta V (Pangeran Padmanegara, Jatinegara Kaum) beranak:
6. Pangeran Jayakarta VI (Pangeran Lahut, Jatinegara Kaum)
Inilah mata rantai yang hilang. Kedua postingan ini sudah saya copas. Ketika hendak saya copas nama-nama pemostingnya, komputer saya sudah hang. Terpaksa saya restart dengan tombol on/off, dan saya tidak menemukan jejak di mana tadi saya menemukan postingan kaskuser dan milis yang saya copas. Secara offline, saya rajut ‘penemuan’ ini tanpa menyebut sumber. Saya pikir, biarlah saya tanggung sendiri akibatnya, toh postingan yang saya buat untuk tujuan berbagi pengetahuan. Dan untuk pengalihan, saya kasih link ke “The Aroengbinang Project” lagi.
Rajutan berikutnya benar-benar murni rekaan saya, karena saya merasa janggal dengan sapu tangan yang dibawa Rantamsari. Untuk apa Rantamsari menyamar sebagai penari sintren sambil membawa sapu tangan?
Berbekal bahan bacaan pada googling “cirebon budaya nelayan”, saya menangkap filosofinya. Saya kembangkan sebagai seni dan sastra yang menyembunyikan kode-kode peperangan. Seperti dalam kisah “1001 Malam” yang merupakan cerita berbingkai, ketika satu sama lain disatukan, menjadi sebuah strategi perang.
Jadilah, saya rajut cerita pertemuan Rantamsari dengan sisa-sisa pasukan Pangeran Jayakarta yang tercecer. Saya merubah dari versi Rantamsari menyamar sebagai penari sintren, menjadi penari ronggeng. Perubahan menjadi sintren adalah berkat pertemuannya dengan sisa-sisa pasukan Pangeran Jayakarta itu. Hanya inilah yang tidak terdapat dalam sejarah sintren versi mana pun.
Akan halnya versi tentang Raden Sulandono dan Sulasih, saya hanya mengembang sedikit dari berbagai versi yang ada, disesuaikan menurut logika yang seharusnya terjadi.
Saya tata kembali plot-plot ceritanya dengan pembabakan yang enak untuk dibaca, minimal menurut saya. Setelah semua tertata, saya pastikan kembali bahwa bagian-bagian penting dalam sejarah yang saya tulis, menyertakan sumber utama. Akan halnya urutan prosesi sintren, pengalaman saya sendirilah yang menjadi referensinya.
Untuk sekedar apologi, saya menyisipkan “nilai ulangan Pelajaran Sejarah saya saat SMP jeblok, ketika bahasan yang ini” dengan maksud bahwa saya memang bukan orang yang pandai sejarah. Bahkan saya perkuat dengan me-link profil Facebook guru SMP saya.
Saya sendiri tak mengira kalau tulisannya akan sepanjang itu. Jauh lebih panjang dari tulisan “Ronggeng Bugis”. Pun ketika tulisan ini sudah tayang, ternyata mendapat respon yang membuat saya terharu. Saya sendiri tak percaya kalau tulisan “Sintren” ini jadi menarik bagi orang lain. Saya pikir, mungkin karena “Sintren” sudah langka. Jadi pembaca yang baru tahu sintren lewat tulisan saya, terkagum-kagum.
Karena itulah saya jadi ragu untuk membuat postingan lain. Apalagi jika yang saya tulis adalah makanan keseharian Cirebon, seperti misalnya “tahu gejrot” atau “empal gentong” (yang sekarang sudah banyak ditemui di kota-kota lain selain Cirebon). Saya khawatir akan dianggap ‘terlalu biasa’ atau malah ‘tidak berbobot’.
Tapi mungkin tak ada salahnya saya coba. Sampai bertemu di postingan saya yang lain.
Terima kasih
=====
blajar ngeblog ahk ,ambir aja gomblog :D
BalasHapus