Copas harus se-izin pemilik konten |
“Ngobrol” Eksklusif #KulinerCirebon Dengan @ArieParikesit di Swiss-Belhotel Cirebon
Dari mana Arie Parikesit tahu tentang hal-hal tersebut? Saya harus bertanya langsung seusai acara, saat bisa berbincang-bincang secara bebas.
====
Sambungan dari Mengejar @ArieParikesit ke Acara #KulinerNostalgia #Cirebon
Sebenarnya saya sempat kecewa ketika Arie Parikesit batal datang ke Cirebon pada acara yang digagas oleh @ImajiNusantara #TurKuliner Cirebon-Indramayu bersama @arieparikesit | 18-19 April 2015 | info : 0821 6313 8252 Yuk! :).
“Ngobrol” Eksklusif Dengan Arie Parikesit di Swiss-Belhotel Cirebon
Tanggal 6 Mei 2015 jam 10.09 kemarin, saya membaca Tweet dari @ChefHaryo
"Banyak orang tanya soal referensi makanan enak di suatu daerah ke saya.soal tsb tanya ke @arieparikesit yaa.."
https://twitter.com/chefharyo/status/595863029193035778
Makin dekatnya mereka, mungkin dampak dari dipertemukannya mereka di acara "Kuliner Nostalgia : Resep Warisan Indonesia", di Swiss-Belhotel Cirebon, tanggal 3 Mei lalu. Meskipun mungkin saja mereka memang sudah saling kenal satu sama lain. Namun yang menarik, seorang Chef Haryo Pramoe, koki organik, lebih mereferensi Arie Parikesit ketimbang orang kuliner lainnya.
Sebagai orang kelahiran Cirebon, tak aneh jika saya sangat tahu semua jenis kuliner Cirebon. Karena di antaranya merupakan makanan favorit saya sejak kecil. Dan suatu kebanggaan bagi saya, saat saya mengetahui apa latar belakang nama-nama kuliner atau sejarah adanya kuliner tersebut.
Pada acara "Kuliner Nostalgia : Resep Warisan Indonesia", di Swiss-Belhotel Cirebon, tanggal 3 Mei lalu, Arie Parikesit, yang bukan orang (kelahiran) Cirebon, tapi tahu banyak tentang kuliner Cirebon bahkan dilengkapi beberapa info lain tentang kuliner-kuliner tersebut, dalam pemaparannya. Hal ini sungguh membuat saya kagum.
Dari mana Arie Parikesit tahu tentang hal-hal tersebut? Saya harus bertanya langsung seusai acara, saat bisa berbincang-bincang secara bebas.
Rupanya, Arie Parikesit memang gemar nongkrong jajan di beberapa warung jalanan. Saat itulah dia bisa mengobrol dengan penjual ataupun pembeli lainnya. Dari obrolan itulah didapat info-info yang berkaitan dengan kuliner tersebut. Tak hanya itu, tentunya Arie Parikesit pun mendapat info dari membaca juga.
Semisal tentang Sega Jamblang (= Nasi Jamblang). Saya tahu berbagai versi sejarah. Dan tak ada satupun yang menyebutkan buah Jamblang (atau disebut juga juwet atau duwet) sebagai lauknya. Yang paling saya ingat, adalah versi bekal nelayan dan versi jatah makan pekerja pabrik gula. Arie Parikesit, menyebutkan bahwa Sega Jamblang awalnya adalah bekal pekerja paksa (Rodi). Ah ini yang luput (atau lupa) dari wawasan kuliner Cirebon saya.
Saat ada waktu berbincang, saya coba diskusikan hal itu. Arie Parikesit tidak menyanggah, versi jatah makan pekerja pabrik gula. Namun bagi Arie Parikesit, adanya Sega Jamblang jauh sebelum itu, saat masuknya Belanda ke Cirebon dan menerapkan kerja paksa. Lalu bagaimana dengan versi bekal nelayan? Kalau yang ini, memang agak susah dirunut tahunnya. Kita tak tahu, dijadikan bekal nelayan itu, pada tahun berapa. Jadi versi yang secara logis lebih dulu, adalah versi jatah makan pekerja paksa.
Begitu ada kesempatan buka laptop, saya langsung googling nasi jamblang kerja rodi. Tepat di urutan atas halaman pertama, saya menemukan artikel Sedapnya Nasi Jaman Rodi.
Ternyata saya yang kurang googling. :D
Selebihnya kami sepakat, bahwa Nasi Jamblang yang asli adalah nasi yang dingin dan terbungkus daun jati. Jadi kalau ada hidangan Nasi Jamblang dalam kondisi hangat atau panas, itu sudah menyalahi aturan secara sejarah.
Lebih jauh tentang Nasi Jamblang, nanti akan saya tuliskan hasil obrolan saya dengan seorang penjual Nasi Jamblang yang tidak terkenal.
Sayangnya, saat itu tak cukup waktu untuk berdiskusi tentang kuliner lain. Karena kami pun terlalu banyak ngobrol ngalor ngidul. Saya sebenarnya masih ingin mendiskusikan nama Tapel (dengan huruf e taling menurut pengucapan Arie Parikesit), yang merupakan singkatan dari ketan sing ditempel artinya ketan yang ditempel. Sementara saya mengenalnya dengan sebutan Tapel (dengan e pepet) yang merupakan singkatan dari ditap cepel-cepel (dengan e pepet semua) yang artinya diletakkan/dibentuk/diatur saat masih lengket.
Kelak, jika ada kesempatan lain bertemu, saya masih ingin berdiskusi tentang hal itu, dan kuliner-kuliner lain, tentu. Untuk hal-hal yang umum, saya bisa dengan segera kirim tweet atau sekedar mention ke Arie Parikesit.
Saya yang banyak bicara folklor (dongeng, hikayat, legenda, cerita dan tutur para sepuh) atau "omong kosong" (menurut sahabat saya) tentang Cirebon, saat bertemu dengan Arie Parikesit yang fasih dalam kuliner, utamanya kuliner jalanan Nusantara, pasti sangat cocok saat diskusi "omong kosong" kuliner Cirebon. :D
Bersambung
=====
Eksklusif dengan Arie Parikesit |
Sambungan dari Mengejar @ArieParikesit ke Acara #KulinerNostalgia #Cirebon
Sebenarnya saya sempat kecewa ketika Arie Parikesit batal datang ke Cirebon pada acara yang digagas oleh @ImajiNusantara #TurKuliner Cirebon-Indramayu bersama @arieparikesit | 18-19 April 2015 | info : 0821 6313 8252 Yuk! :).
“Ngobrol” Eksklusif Dengan Arie Parikesit di Swiss-Belhotel Cirebon
Arie Parikesit
Tanggal 6 Mei 2015 jam 10.09 kemarin, saya membaca Tweet dari @ChefHaryo
"Banyak orang tanya soal referensi makanan enak di suatu daerah ke saya.soal tsb tanya ke @arieparikesit yaa.."
https://twitter.com/chefharyo/status/595863029193035778
Makin dekatnya mereka, mungkin dampak dari dipertemukannya mereka di acara "Kuliner Nostalgia : Resep Warisan Indonesia", di Swiss-Belhotel Cirebon, tanggal 3 Mei lalu. Meskipun mungkin saja mereka memang sudah saling kenal satu sama lain. Namun yang menarik, seorang Chef Haryo Pramoe, koki organik, lebih mereferensi Arie Parikesit ketimbang orang kuliner lainnya.
“Ngobrol” Eksklusif #KulinerCirebon Dengan @ArieParikesit di Swiss-Belhotel Cirebon |
Sebagai orang kelahiran Cirebon, tak aneh jika saya sangat tahu semua jenis kuliner Cirebon. Karena di antaranya merupakan makanan favorit saya sejak kecil. Dan suatu kebanggaan bagi saya, saat saya mengetahui apa latar belakang nama-nama kuliner atau sejarah adanya kuliner tersebut.
Pada acara "Kuliner Nostalgia : Resep Warisan Indonesia", di Swiss-Belhotel Cirebon, tanggal 3 Mei lalu, Arie Parikesit, yang bukan orang (kelahiran) Cirebon, tapi tahu banyak tentang kuliner Cirebon bahkan dilengkapi beberapa info lain tentang kuliner-kuliner tersebut, dalam pemaparannya. Hal ini sungguh membuat saya kagum.
Dari mana Arie Parikesit tahu tentang hal-hal tersebut? Saya harus bertanya langsung seusai acara, saat bisa berbincang-bincang secara bebas.
Rupanya, Arie Parikesit memang gemar nongkrong jajan di beberapa warung jalanan. Saat itulah dia bisa mengobrol dengan penjual ataupun pembeli lainnya. Dari obrolan itulah didapat info-info yang berkaitan dengan kuliner tersebut. Tak hanya itu, tentunya Arie Parikesit pun mendapat info dari membaca juga.
Semisal tentang Sega Jamblang (= Nasi Jamblang). Saya tahu berbagai versi sejarah. Dan tak ada satupun yang menyebutkan buah Jamblang (atau disebut juga juwet atau duwet) sebagai lauknya. Yang paling saya ingat, adalah versi bekal nelayan dan versi jatah makan pekerja pabrik gula. Arie Parikesit, menyebutkan bahwa Sega Jamblang awalnya adalah bekal pekerja paksa (Rodi). Ah ini yang luput (atau lupa) dari wawasan kuliner Cirebon saya.
Saat ada waktu berbincang, saya coba diskusikan hal itu. Arie Parikesit tidak menyanggah, versi jatah makan pekerja pabrik gula. Namun bagi Arie Parikesit, adanya Sega Jamblang jauh sebelum itu, saat masuknya Belanda ke Cirebon dan menerapkan kerja paksa. Lalu bagaimana dengan versi bekal nelayan? Kalau yang ini, memang agak susah dirunut tahunnya. Kita tak tahu, dijadikan bekal nelayan itu, pada tahun berapa. Jadi versi yang secara logis lebih dulu, adalah versi jatah makan pekerja paksa.
Begitu ada kesempatan buka laptop, saya langsung googling nasi jamblang kerja rodi. Tepat di urutan atas halaman pertama, saya menemukan artikel Sedapnya Nasi Jaman Rodi.
http://gohitzz.com/assets/media/Nasi20%Jamblang |
Ternyata saya yang kurang googling. :D
Selebihnya kami sepakat, bahwa Nasi Jamblang yang asli adalah nasi yang dingin dan terbungkus daun jati. Jadi kalau ada hidangan Nasi Jamblang dalam kondisi hangat atau panas, itu sudah menyalahi aturan secara sejarah.
Lebih jauh tentang Nasi Jamblang, nanti akan saya tuliskan hasil obrolan saya dengan seorang penjual Nasi Jamblang yang tidak terkenal.
Sayangnya, saat itu tak cukup waktu untuk berdiskusi tentang kuliner lain. Karena kami pun terlalu banyak ngobrol ngalor ngidul. Saya sebenarnya masih ingin mendiskusikan nama Tapel (dengan huruf e taling menurut pengucapan Arie Parikesit), yang merupakan singkatan dari ketan sing ditempel artinya ketan yang ditempel. Sementara saya mengenalnya dengan sebutan Tapel (dengan e pepet) yang merupakan singkatan dari ditap cepel-cepel (dengan e pepet semua) yang artinya diletakkan/dibentuk/diatur saat masih lengket.
Kue Tapel |
Kelak, jika ada kesempatan lain bertemu, saya masih ingin berdiskusi tentang hal itu, dan kuliner-kuliner lain, tentu. Untuk hal-hal yang umum, saya bisa dengan segera kirim tweet atau sekedar mention ke Arie Parikesit.
Saya yang banyak bicara folklor (dongeng, hikayat, legenda, cerita dan tutur para sepuh) atau "omong kosong" (menurut sahabat saya) tentang Cirebon, saat bertemu dengan Arie Parikesit yang fasih dalam kuliner, utamanya kuliner jalanan Nusantara, pasti sangat cocok saat diskusi "omong kosong" kuliner Cirebon. :D
Bersambung
=====
Mas Dodi, suatu saat aku pengen datang ke Cirebon lagi. Temanin nyari makanan asli sana ya #entahkapan :)
BalasHapusMas Dodi, suatu saat aku pengen datang ke Cirebon lagi. Temanin nyari makanan asli sana ya #entahkapan :)
BalasHapusSaya cuma tahu jenis makanannya, mbak Evie. Soal, pedagang mana, yang dagangannya paling enak, saya ga tahu persis. :D
HapusHampir semua jenis makanan lokal, ada di dekat rumah saya. Empal Gentong, misalnya, saya biasa beli yang di dekat Pasar Balong. Ga pernah ke Amarta atau H Apud, terlalu jauh ke arah Trusmi. Tapel, yang di Jl Pasuketan atau Pasar Pagi. Rujak Donggala (mirip Asinan Betawi), yang biasa saya beli di depan Klenteng dekat Pasar Kanoman. Dan banyak jenis makanan lokal tersedia di Pasar Kanoman. :D