Pasukan Mataram yang tersisa, melarikan diri. Pasukan Mataram ini membersihkan diri di sungai Ciliwung yang mereka bendung. Sambil bersungut-sungut, Pasukan Mataram ini mengulang-ulang kata, “mbet tai.” (“bau tai.”)
---
Sambungan dari "Sintren (2)"
Kembali pada kisah sebelumnya, Mataram mengirim utusan ke Banten agar tunduk dalam kekuasaan Mataram. Banten menolak. Mataram saat kepemimpinan Sultan Agung adalah juga keturunan Pajang. Maka Pajang masih bersikap mendukung Mataram. Jayalengkara (Adipati Surabaya) terang-terangan menentang Mataram.
Posisi Surabaya sebagai kota Pelabuhan, merasa di atas angin dari Mataram. Mataram menyerang Surabaya secara periodik, membendung Sungai Mas. Kala itu Sungai menjadi sumber penghidupan Surabaya. Surabaya bertahan atas serangan Mataram, karena mendapat suplai air serta bahan mentah dari Madura, sebagai gudang pelabuhan. Bahan makanan dikirim dari Sukadana (Kalimantan sebelah barat daya).
Sultan Agung Mataram menjajagi kemungkinan memanfaatkan VOC di Batavia untuk membantunya menyerang Surabaya. VOC menolak membantu Mataram. Dengan penolakan VOC, Mataram mengirim utusan ke Banten untuk bersekutu melawan Surabaya. Banten menolak pula bersekutu dengan Mataram.
Akhirnya Mataram, merekrut Bahureksa (Bupati Kendal), diangkat menjadi Tumenggung Mataram, untuk menghancurkan Sukadana serta Madura. Dengan dihancurkannya Sukadana serta Madura oleh Tumenggung Bahureksa, Surabaya berhasil dikuasai Mataram. Pelabuhan Surabaya ditutup oleh Mataram. Mataram hanya mengandalkan pertanian.
Mataram menyusun rencana menaklukkan Banten dan Batavia. Sultan Agung menyandera keluarga kerajaan Cirebon agar Cirebon mau menjadi kaki-tangan Mataram dalam penyerangan Mataram ke Batavia. Dengan keberhasilan menghancurkan Sukadana serta Madura, Tumenggung Bahureksa diperintah untuk menyerang Batavia. Tumenggung Bahureksa beserta pasukan dari Mataram berangkat ke Batavia. Mereka bermarkas di pinggir hutan Jatinegara, tempat itu kemudian dikenal sebagai Matraman (Mataraman).
Tanpa di duga, mereka bertemu dengan pasukan Pangeran Jayakarta (kini benar-benar telah ditinggal gugur oleh Pangeran Jayakarta). Bersama, mereka menyerang VOC. Namun mengalami kegagalan.
Mendengar kegagalan serangan oleh Tumenggung Bahureksa, Sultan Agung Mataram mengirim pasukan algojo untuk mengeksekusi. Bahureksa berhasil selamat lalu bersembunyi di Pekalongan. Masyarakat Pekalongan adalah masyarakat binaan Bahureksa, bahkan selalu menjadi tempatnya melarikan diri. Bahureksa sendirilah yang babat alas di tempat ini, yang ketika tapa brata sempat diganggu oleh Dewi Lanjar.
Di Kendal, istri Bahureksa, bernama Rantamsari, mendengar kabar kematian suaminya oleh pasukan algojo Mataram. Dengan membawa serta sapu tangan pemberian suaminya, Rantamsari berangkat ke Batavia menyamar sebagai rombongan penari ronggeng. Rantamsari sendiri yang menjadi penari sambil mengibar-ngibarkan sapu tangan pemberian suaminya.
Di Matraman, rombongan mereka pun bertemu dengan sisa-sisa pasukan Pangeran Jayakarta. Sisa-sisa pasukan ini bergabung dengan rombongan penari kemudian balik arah ke Pekalongan. Karena hal inilah asimilasi terjadi. Tembang pembuka dan penutup adalah kode agar bisa dikenali oleh para veteran pasukan sandi Pangeran Jayakarta. Penari pun diganti dengan penari gadis. Jadilah pertunjukan Sintren. Selama perjalanan, rombongan ini semakin bertambah jumlahnya, karena bergabungnya sisa-sisa pasukan sandi Pangeran Jayakarta. Di Cirebon, rombongan ini terpecah. Banyak dari mereka kemudian berniat mukim di sini, dekat makam Fatahillah. Sisanya meneruskan perjalanan ke Pekalongan. Yang mukim di Cirebon, pun kadang-kadang masih melakukan pertunjukan Sintren.
Sultan Agung Mataram melanjutkan serangan kedua. Lumbung padi besar didirikan di Cirebon dan Karawang secara rahasia untuk mendukung rencana serangan Mataram.
Namun VOC telah mengantisipasi serangan Mataram. Hutan Jatinegara dibabat. Karena Hutan Jatinegara biasa digunakan untuk tempat bersembunyi pasukan Mataram.
Pasukan Mataram kali ini membendung kemudian mengotori sungai Ciliwung. Batavia kekurangan air bersih untuk minum. Tinja pun menumpuk karena tak bisa dibuang lewat sungai. Hal ini menimbulkan wabah kolera di Batavia. JP Coen sendiri tewas karena wabah itu.
Tibalah saatnya pukulan besar oleh Mataram, dilakukan ke arah benteng VOC. Pasukan Mataram kali ini adalah jawara-jawara sakti pilihan, dianggap lebih sakti dari Tumenggung Bahureksa.
Pasukan VOC nyaris kehabisan peluru (bedil maupun meriam). Mereka mengganti peluru mereka dengan tinja (memang berserakan di sekitar mereka). Ternyata ampuh. Banyak dari para jawara ini kehilangan kesaktian saat mereka berlumuran tinja.
Pasukan Mataram yang tersisa, melarikan diri. Pasukan Mataram ini membersihkan diri di sungai Ciliwung yang mereka bendung. Sambil bersungut-sungut, Pasukan Mataram ini mengulang-ulang kata, “mbet tai.” (“bau tai.”)
Bersambung ke "Sintren (4)"
Sintren : < 1 2 3 4 5 >
=====
---
Sambungan dari "Sintren (2)"
Mataram
Di Balik Nama Betawi (2)
Foto diunduh dari http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/c/c9/Seni_Sintren.jpg pada Sintren menurut Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Sintren) |
Posisi Surabaya sebagai kota Pelabuhan, merasa di atas angin dari Mataram. Mataram menyerang Surabaya secara periodik, membendung Sungai Mas. Kala itu Sungai menjadi sumber penghidupan Surabaya. Surabaya bertahan atas serangan Mataram, karena mendapat suplai air serta bahan mentah dari Madura, sebagai gudang pelabuhan. Bahan makanan dikirim dari Sukadana (Kalimantan sebelah barat daya).
Sultan Agung Mataram menjajagi kemungkinan memanfaatkan VOC di Batavia untuk membantunya menyerang Surabaya. VOC menolak membantu Mataram. Dengan penolakan VOC, Mataram mengirim utusan ke Banten untuk bersekutu melawan Surabaya. Banten menolak pula bersekutu dengan Mataram.
Akhirnya Mataram, merekrut Bahureksa (Bupati Kendal), diangkat menjadi Tumenggung Mataram, untuk menghancurkan Sukadana serta Madura. Dengan dihancurkannya Sukadana serta Madura oleh Tumenggung Bahureksa, Surabaya berhasil dikuasai Mataram. Pelabuhan Surabaya ditutup oleh Mataram. Mataram hanya mengandalkan pertanian.
Mataram menyusun rencana menaklukkan Banten dan Batavia. Sultan Agung menyandera keluarga kerajaan Cirebon agar Cirebon mau menjadi kaki-tangan Mataram dalam penyerangan Mataram ke Batavia. Dengan keberhasilan menghancurkan Sukadana serta Madura, Tumenggung Bahureksa diperintah untuk menyerang Batavia. Tumenggung Bahureksa beserta pasukan dari Mataram berangkat ke Batavia. Mereka bermarkas di pinggir hutan Jatinegara, tempat itu kemudian dikenal sebagai Matraman (Mataraman).
Tanpa di duga, mereka bertemu dengan pasukan Pangeran Jayakarta (kini benar-benar telah ditinggal gugur oleh Pangeran Jayakarta). Bersama, mereka menyerang VOC. Namun mengalami kegagalan.
Mendengar kegagalan serangan oleh Tumenggung Bahureksa, Sultan Agung Mataram mengirim pasukan algojo untuk mengeksekusi. Bahureksa berhasil selamat lalu bersembunyi di Pekalongan. Masyarakat Pekalongan adalah masyarakat binaan Bahureksa, bahkan selalu menjadi tempatnya melarikan diri. Bahureksa sendirilah yang babat alas di tempat ini, yang ketika tapa brata sempat diganggu oleh Dewi Lanjar.
Di Kendal, istri Bahureksa, bernama Rantamsari, mendengar kabar kematian suaminya oleh pasukan algojo Mataram. Dengan membawa serta sapu tangan pemberian suaminya, Rantamsari berangkat ke Batavia menyamar sebagai rombongan penari ronggeng. Rantamsari sendiri yang menjadi penari sambil mengibar-ngibarkan sapu tangan pemberian suaminya.
Di Matraman, rombongan mereka pun bertemu dengan sisa-sisa pasukan Pangeran Jayakarta. Sisa-sisa pasukan ini bergabung dengan rombongan penari kemudian balik arah ke Pekalongan. Karena hal inilah asimilasi terjadi. Tembang pembuka dan penutup adalah kode agar bisa dikenali oleh para veteran pasukan sandi Pangeran Jayakarta. Penari pun diganti dengan penari gadis. Jadilah pertunjukan Sintren. Selama perjalanan, rombongan ini semakin bertambah jumlahnya, karena bergabungnya sisa-sisa pasukan sandi Pangeran Jayakarta. Di Cirebon, rombongan ini terpecah. Banyak dari mereka kemudian berniat mukim di sini, dekat makam Fatahillah. Sisanya meneruskan perjalanan ke Pekalongan. Yang mukim di Cirebon, pun kadang-kadang masih melakukan pertunjukan Sintren.
Sultan Agung Mataram melanjutkan serangan kedua. Lumbung padi besar didirikan di Cirebon dan Karawang secara rahasia untuk mendukung rencana serangan Mataram.
Namun VOC telah mengantisipasi serangan Mataram. Hutan Jatinegara dibabat. Karena Hutan Jatinegara biasa digunakan untuk tempat bersembunyi pasukan Mataram.
Pasukan Mataram kali ini membendung kemudian mengotori sungai Ciliwung. Batavia kekurangan air bersih untuk minum. Tinja pun menumpuk karena tak bisa dibuang lewat sungai. Hal ini menimbulkan wabah kolera di Batavia. JP Coen sendiri tewas karena wabah itu.
Tibalah saatnya pukulan besar oleh Mataram, dilakukan ke arah benteng VOC. Pasukan Mataram kali ini adalah jawara-jawara sakti pilihan, dianggap lebih sakti dari Tumenggung Bahureksa.
Pasukan VOC nyaris kehabisan peluru (bedil maupun meriam). Mereka mengganti peluru mereka dengan tinja (memang berserakan di sekitar mereka). Ternyata ampuh. Banyak dari para jawara ini kehilangan kesaktian saat mereka berlumuran tinja.
Pasukan Mataram yang tersisa, melarikan diri. Pasukan Mataram ini membersihkan diri di sungai Ciliwung yang mereka bendung. Sambil bersungut-sungut, Pasukan Mataram ini mengulang-ulang kata, “mbet tai.” (“bau tai.”)
Bersambung ke "Sintren (4)"
Sintren : < 1 2 3 4 5 >
=====
Tidak ada komentar:
Iklan dan Promosi terselubung masih boleh, asal cantumkan komentar yang sesuai tema.
Iklan/promosi yang berlebihan dan komentar yang tidak sesuai tema, akan dihapus.
Komentar spam akan dihapus juga.