Seloka [Mistik Al Qur'an] Bagian 8 | Triangulasi 2 | Bumi

Dodi Nurdjaja

Header Ads

728 x 90 ads 728 x 90 ads
Maaf sedang ada penataan ulang label, dalam rangka mau ganti theme/template. Berdampak di Menu Utama.


DMCA.com Protection Status
Copas harus se-izin pemilik konten

Seloka [Mistik Al Qur'an] Bagian 8 | Triangulasi 2 | Bumi

Bisa jadi, Eratosthenes pada awalnya tidak tertarik untuk menghitung jari-jari bumi. Eratosthenes hanya penasaran pada posisi matahari. Namun kita tahu, bahwa itu adalah gerak semu. Bumi yang sesungguhnya bergerak secara gerak rotasi bumi dan gerak revolusi bumi terhadap matahari. (Sekalipun memang matahari pun memiliki garis edar terhadap pusat galaksi bima sakti.)
---
Sambungan dari Triangulasi 1

Bumi

Menjadi Alat Ukur Besarnya Bumi


Abad ke-3 SM atau tepatnya 276 SM - 194 SM, di kota Alexandria (Iskandariyah) Mesir, hiduplah seorang bernama Eratosthenes. Eratosthenes seorang astronom, sejarawan, ahli geografi, filsuf, penyair, kritikus teater serta ahli matematika zaman Helenistik. (Wikipedia)

Judul-judul bukunya merentang dari Astronomy sampai On Freedom from Pain.

Eratosthenes juga seorang direktur perpustakaan besar Iskandariyah. Pada suatu hari Eratosthenes membaca buku lontar bahwa di perbatasan selatan pos terdepan Syene (Aswan) dekat air terjun pertama sungai Nil, pada tanggal 21 Juni, tongkat tegak tidak memberikan bayangan matahari. Pada saat itu adalah titik balik matahari musim panas, hari terpanjang dalam setahun. Saat menit demi menit ke arah tengah hari, bayang-bayang tiang kuil memendek. Pada tepat tengah hari, bayangan itu tidak ada lagi. Pantulan matahari pada saat yang sama dilihat dalam sumur ternyata tepat di atas kepala.

Berfikir Eratosthenes tentang kejadian di Syene, antara tongkat, bayangan, pantulan dalam sumur. Ada apa dengan posisi matahari?

Pada tanggal yang sama Eratosthenes melakukan pengamatan serta eksperimen serupa, tapi di Iskandariyah. Eratosthenes mendapatkan bayangan. Koq bisa?

Bagaimana mungkin pada saat yg sama, fikirnya, sebuah tongkat di Syene tidak memberikan bayangan, sementara di Iskandariyah, jauh di utara, memberikan bayangan yang jelas. Beberapa percobaan lainnya menunjukkan hasil serupa, hanya berbeda pada panjang bayangan (besar sudutnya).

Eratosthenes merenung kembali. Ini hanya mungkin bila bumi melengkung bulat lalu matahari yang demikan jauh memberikan cahaya sejajar. Semakin besar sudut juringnya maka semakin panjang bayangannya.

Gambar diunduh dari oasedunia.blogspot
Eratosthenes saat itu mengukur sudut dengan sistem 60° sebagai lingkaran penuh (sistem ini dipakai juga sebagai menit serta detik pada jam, hingga saat ini).  Menurut sistem tersebut, sudut bayangan yang terbentuk adalah sebesar 1,2° atau setara dengan 7,2° pada sistem lingkaran 360°.  Sekitar 1/50 (0,02) dari lingkaran penuh.

Eratosthenes menyewa orang untuk menempuh perjalanan dari Iskandariyah ke Syene, Erastosthenes menghitung jarak. Waktu tempuh perjalanan efektif (nonstop) adalah 50 hari.  Sementara kecepatannya adalah 100 stadia per hari (rata-rata).
50 hari x 100 stadia/hari = 5.000 stadia
Angka 5000 stadia diperkirakan sama dengan 800 km.
1 stadia = 800.000 m / 5.000
1 stadia = 160 m
(Tapi Wikipedia mencatat dengan 185 m. Wikipedia memang sering tak singkron soal angka.)

Maka didapatlah perbandingan
5.000 Stadia / Keliling lingkaran bumi = 7,2° / 360°
Keliling lingkaran bumi = 5.000 stadia / 0,02
Keliling lingkaran bumi = 250.000 stadia
(Tapi Wikipedia mencatat dengan 252.000 stadia.)

Dikonversikan ke satuan km
250.000 stadia x 160 m/stadia
= 40.000.000 m = 40.000 km
(Tapi Wikipedia mencatat dengan 39.690 km. Menurut perhitungan modern, keliling bumi adalah 40.008 km.)

Tingkat akurasinya meleset 8 km dari kondisi aslinya.
(8 / 40.008) x 100%
= 0,000199 x 100%
= 0,0199%
Tingkat kesalahanannya sangat kecil.

Setelah hal ini diketahui, maka dari kota pelabuhan dunia Iskandariyah, mulailah penjelajahan besar oleh pelaut-pelaut yang berani serta berjiwa petualang. Di antara nama-nama yang terkenal adalah Marco Polo serta Ibnu Batutah.

Bagaimana dengan Eratosthenes? Dia kembali merenung, sesuatu yang baru lagi.

Bisa jadi, Eratosthenes pada awalnya tidak tertarik untuk menghitung jari-jari bumi. Eratosthenes hanya penasaran pada posisi matahari. Namun kita tahu, bahwa itu adalah gerak semu. Bumi yang sesungguhnya bergerak secara gerak rotasi bumi dan gerak revolusi bumi terhadap matahari. (Sekalipun memang matahari pun memiliki garis edar terhadap pusat galaksi bima sakti.)

Begitu mengagumkan buah fikir dari Eratosthenes. Dari perbedaan posisi zenith matahari, Eratosthenes menghasilkan perhitungan tentang volume bumi. Tentu saja Eratosthenes berpijak pada asumsi bahwa bumi berbentuk bulat seperti bola. Secara rumus, mungkin saja mudah mengerjakannya. Apalagi bagi kita yang hidup di jaman sekarang ini. Rumus keliling lingkaran (bumi), sudah kita pelajari semenjak masih duduk di bangku SD.

Dengan mengetahui jarak dari Iskandariyah ke Syene, Eratosthenes mendapatkan perbandingannya dengan total keliling bumi. Setelah keliling bumi diketahui, hal yang mudah untuk mendapatkan diameter atau jari-jari bumi. Setelah tahu jari-jari bumi, tinggal kita terapkan rumus volume bola untuk memperoleh volume bumi.

Jadi kuncinya adalah mendapatkan angka keliling bumi. Berikutnya, dengan rumus-rumus, kita bisa mendapatkan jari-jari bumi, dan volume bumi.

Karenanya, Eratosthenes dinobatkan sebagai bapak Ilmu Bumi (Geografi).



Bersambung ke Triangulasi 3
Kembali ke Seloka Bagian 5 ===

Bumi

===

Tidak ada komentar:

Iklan dan Promosi terselubung masih boleh, asal cantumkan komentar yang sesuai tema.
Iklan/promosi yang berlebihan dan komentar yang tidak sesuai tema, akan dihapus.
Komentar spam akan dihapus juga.

Copyright © 2011 Dodi®Nurdjaja™ . Diberdayakan oleh Blogger.