Gagal dengan racun racikannya, Pangeran Rengganis mencari dukun racun yang paling sakti di seluruh pelosok Jawa. Dukun itulah yang kelak mengadu kesaktian dengan Kumandange Azan Pitu.
---
(Sambungan dari Saka Tatal | Kumandange Azan Pitu (Bag. 2) )
Docang dan Sabrang:
Racun yang Gagal
Setelah berdirinya Tajug Agung Sang Cipta Rasa dan Masjid Agung Demak, ada kebiasaan para Wali, di waktu-waktu tertentu, shalat di kedua Masjid ini secara bergiliran. Misalnya saat Shalat Subuh berjamaah di Tajug Agung Sang Cipta Rasa, saat Shalat Maghrib berjamaah di Masjid Agung Demak.
Dalam pada itu, banyak warga yang mengirimkan makanan untuk para Wali. Sunan Gunung Jati, punya kebiasaan unik. Sajian makanan Subuh yang tidak habis, diolah kembali dengan mencampurkan satu menu dengan menu lainnya. Sajian saat sarapan ini, selalu berbeda, tergantung jenis sisa sajian saat Subuh.
Kebiasaan meracik makanan sisa ini pernah saya lihat juga pada seorang Ustadz/Kiai/Fuqara (sudah wafat) yang pernah saya kenal di Jakarta.
Berkembangnya Agama Islam di pelosok tanah Jawa, tetap mengalami hambatan-hambatan. Salah seorang pangeran, bernama Pangeran Rengganis, bahkan berniat membunuh para Wali ini dengan makanan beracun.
Pangeran Rengganis, meracik makanan berkuah, berupa Jangan (Sayur) Bodo. Makanan itu terbuat dari tempe bongkrek. Tempe bongkrek adalah racun. Jangan Bodo racikan Pangeran Rengganis, dibubuhi pula dengan tambahan bubuk racun.
Pangeran Sabrang Lor, mencium aroma bubuk yang dikenalnya saat pernah singgah di Tanah Minang. Kepada Sunan Gunung Jati, Pangeran Sabrang Lor meminta agar makanan itu dibuang saja.
Sunan Gunung Jati hanya memisahkan Jangan Bodo dari kumpulan makanan saat Subuh itu. Di pagi harinya, beberapa makanan yang tersisa, dikumpulkan kembali oleh Sunan Gunung Jati, tidak terkecuali Jangan Bodo. Seperti biasa, Sunan Gunung Jati bersiap meracik beberapa makanan sisa ini.
Pangeran Sabrang Lor kembali melarang Sunan Gunung Jati. Aroma bubuk yang dikenalnya itu, dianggap akan membahayakan. Namun Sunan Gunung Jati tetap meracik Jangan Bodo, dengan beberapa tambahan seperti daun singkong, kelapa parut, toge, kerupuk dan lontong. Namun kuah Jangan Bodo itu telah diencerkan dengan tambahan air dan dicampur sisa kuah-kuah lainnya. Sunan Gunung Jati kemudian menamai racikannya dengan sebutan Jangan Bodo Campur Kacang (kacang di sini maksudnya toge, yang berasal dari kacang hijau).
Sunan Gunung Jati mempersilakan Pangeran Sabrang Lor untuk mencicipi makanan racikannya. Alih-alih mencicipi, Pangeran Sabrang Lor malah minta tambah. Maka yang lain pun segera ikut mencicipi.
Jangan Bodo Campur Kacang, menjadi makanan kesukaan para wali, sejak saat itu. Dan Pangeran Rengganis diminta untuk selalu menghadirkan Jangan Bodo, sebagai racikan utama Jangan Bodo Campur Kacang. Lambat laun, sebutan Jangan Bodo Campur Kacang berubah sebutan menjadi Docang atau Jangan Docang.
Sebagai hidangan sarapan pagi, Docang dianggap sebagai kepanjangan dari dodok bari ngecacang (duduk makan sambil berbicara). Namun ada juga yang menyebutnya sebagai kepanjangan dari jangan bodo dage kacang (sayur dari kacang yang dibacem).
Ada rasa pedas yang belum pernah dirasakan oleh masyarakat Jawa. Menurut Pangeran Sabrang Lor, itu adalah rasa dari bubuk buah pedas dari Tanah Sabrang (daerah Minang di Sumatera dan daerah melayu lainnya termasuk Malaka dan Tumasik, lebih sering disebut Tanah Sabrang atau Seberang). Pangeran Sabrang Lor, bahkan masih menyimpan buah pedas itu, yang telah mengering.
Atas saran dari Sunan Gunung Jati, buah pedas itu dibudidayakan di tanah Cirebon. Buah tumbuhan itu kemudian disebut Sabrang. Ya, itulah tumbuhan Cabai/Cabe yang pedas.
Pada masa pendudukan Jepang, banyak beredar Cabe Rawit. Sehingga, orang Cirebon pada masa itu, menyebut Cabe Rawit dengan sebutan Sabrang Jepun (Sabrang/Cabe di era pendudukan Jepun/Jepang).
Gagal dengan racun racikannya, Pangeran Rengganis mencari dukun racun yang paling sakti di seluruh pelosok Jawa. Dukun itulah yang kelak mengadu kesaktian dengan Kumandange Azan Pitu.
Bersambung
=====
---
(Sambungan dari Saka Tatal | Kumandange Azan Pitu (Bag. 2) )
Docang dan Sabrang:
Racun yang Gagal
Setelah berdirinya Tajug Agung Sang Cipta Rasa dan Masjid Agung Demak, ada kebiasaan para Wali, di waktu-waktu tertentu, shalat di kedua Masjid ini secara bergiliran. Misalnya saat Shalat Subuh berjamaah di Tajug Agung Sang Cipta Rasa, saat Shalat Maghrib berjamaah di Masjid Agung Demak.
Dalam pada itu, banyak warga yang mengirimkan makanan untuk para Wali. Sunan Gunung Jati, punya kebiasaan unik. Sajian makanan Subuh yang tidak habis, diolah kembali dengan mencampurkan satu menu dengan menu lainnya. Sajian saat sarapan ini, selalu berbeda, tergantung jenis sisa sajian saat Subuh.
Kebiasaan meracik makanan sisa ini pernah saya lihat juga pada seorang Ustadz/Kiai/Fuqara (sudah wafat) yang pernah saya kenal di Jakarta.
Berkembangnya Agama Islam di pelosok tanah Jawa, tetap mengalami hambatan-hambatan. Salah seorang pangeran, bernama Pangeran Rengganis, bahkan berniat membunuh para Wali ini dengan makanan beracun.
Pangeran Rengganis, meracik makanan berkuah, berupa Jangan (Sayur) Bodo. Makanan itu terbuat dari tempe bongkrek. Tempe bongkrek adalah racun. Jangan Bodo racikan Pangeran Rengganis, dibubuhi pula dengan tambahan bubuk racun.
Pangeran Sabrang Lor, mencium aroma bubuk yang dikenalnya saat pernah singgah di Tanah Minang. Kepada Sunan Gunung Jati, Pangeran Sabrang Lor meminta agar makanan itu dibuang saja.
Sunan Gunung Jati hanya memisahkan Jangan Bodo dari kumpulan makanan saat Subuh itu. Di pagi harinya, beberapa makanan yang tersisa, dikumpulkan kembali oleh Sunan Gunung Jati, tidak terkecuali Jangan Bodo. Seperti biasa, Sunan Gunung Jati bersiap meracik beberapa makanan sisa ini.
Pangeran Sabrang Lor kembali melarang Sunan Gunung Jati. Aroma bubuk yang dikenalnya itu, dianggap akan membahayakan. Namun Sunan Gunung Jati tetap meracik Jangan Bodo, dengan beberapa tambahan seperti daun singkong, kelapa parut, toge, kerupuk dan lontong. Namun kuah Jangan Bodo itu telah diencerkan dengan tambahan air dan dicampur sisa kuah-kuah lainnya. Sunan Gunung Jati kemudian menamai racikannya dengan sebutan Jangan Bodo Campur Kacang (kacang di sini maksudnya toge, yang berasal dari kacang hijau).
Sunan Gunung Jati mempersilakan Pangeran Sabrang Lor untuk mencicipi makanan racikannya. Alih-alih mencicipi, Pangeran Sabrang Lor malah minta tambah. Maka yang lain pun segera ikut mencicipi.
Jangan Bodo Campur Kacang, menjadi makanan kesukaan para wali, sejak saat itu. Dan Pangeran Rengganis diminta untuk selalu menghadirkan Jangan Bodo, sebagai racikan utama Jangan Bodo Campur Kacang. Lambat laun, sebutan Jangan Bodo Campur Kacang berubah sebutan menjadi Docang atau Jangan Docang.
Sebagai hidangan sarapan pagi, Docang dianggap sebagai kepanjangan dari dodok bari ngecacang (duduk makan sambil berbicara). Namun ada juga yang menyebutnya sebagai kepanjangan dari jangan bodo dage kacang (sayur dari kacang yang dibacem).
Ada rasa pedas yang belum pernah dirasakan oleh masyarakat Jawa. Menurut Pangeran Sabrang Lor, itu adalah rasa dari bubuk buah pedas dari Tanah Sabrang (daerah Minang di Sumatera dan daerah melayu lainnya termasuk Malaka dan Tumasik, lebih sering disebut Tanah Sabrang atau Seberang). Pangeran Sabrang Lor, bahkan masih menyimpan buah pedas itu, yang telah mengering.
Atas saran dari Sunan Gunung Jati, buah pedas itu dibudidayakan di tanah Cirebon. Buah tumbuhan itu kemudian disebut Sabrang. Ya, itulah tumbuhan Cabai/Cabe yang pedas.
Pada masa pendudukan Jepang, banyak beredar Cabe Rawit. Sehingga, orang Cirebon pada masa itu, menyebut Cabe Rawit dengan sebutan Sabrang Jepun (Sabrang/Cabe di era pendudukan Jepun/Jepang).
Gagal dengan racun racikannya, Pangeran Rengganis mencari dukun racun yang paling sakti di seluruh pelosok Jawa. Dukun itulah yang kelak mengadu kesaktian dengan Kumandange Azan Pitu.
=====
Tidak ada komentar:
Iklan dan Promosi terselubung masih boleh, asal cantumkan komentar yang sesuai tema.
Iklan/promosi yang berlebihan dan komentar yang tidak sesuai tema, akan dihapus.
Komentar spam akan dihapus juga.