Lalu Sunan Kalijaga mengumpulkan tatal yang lebih besar, dan mengajak bocah tatal itu untuk ikut membantunya mengumpulkan, lalu disatukan dan membentuk tiang.
--- by Dodi Nurdjaja ---
(Sambungan dari http://dodi-nurdjaja.blogspot.com/2015/02/bocah-tatal-kumandange-azan-pitu-bag-1.html)
Saka Tatal
=====
--- by Dodi Nurdjaja ---
(Sambungan dari http://dodi-nurdjaja.blogspot.com/2015/02/bocah-tatal-kumandange-azan-pitu-bag-1.html)
Saka Tatal
Seperti biasa, esok paginya anak itu datang lagi datang lagi untuk mengumpulkan tatal.
"Hai, nak," tegur Sunan Gunung Jati, "untuk apa kau kumpulkan tatal-tatal itu?"
Anak itu kaget dengan kemunculan orang asing di tempat dia biasa mencari ranting dan tatal. Anak itu tidak mengenal, bahwa orang itu adalah Sunan Gunung Jati. Anak itu terlihat takut dan sulit menjawab pertanyaan Sunan Gunung Jati.
"Tak usah takut, nak," kata Sunan Gunung Jati, "aku pun manusia seperti kamu. Aku bukan bangsa lelembut yang menghuni daerah ini."
"Maaf," kata anak itu mulai bisa menjawab, "saya hanya mengumpulkan ranting pada awalnya. Tapi saat melihat banyak tatal, saya lebih memilih tatal. Ranting atau tatal tadi dipakai untuk kayu bakar oleh ibu saya. Ibu saya berjualan nasi."
"Apa iwake?" ("Apa lauknya") tanya Sunan Gunug Jati.
"Iwak iku apa?" ("Apa itu lauk?") anak itu balik bertanya.
"Lauk itu," kata Sunan Gunung Jati, "yang dimakan bersama nasi. Apa biasanya yang kamu makan bersama nasi?"
"O," kata anak itu, "cuma air putih."
"Pagi, siang, sore cuma makan nasi putih?" tanya Sunan Gunung Jati.
"Cuma sore saat maghrib," kata anak itu, "saya biasa puasa setiap hari, kecuali hari-hari tertentu."
"Siapa yang mengajarkan itu?" tanya Sunan Gunung Jati.
"Ibu saya," jawab anak itu.
Sunan Gunung Jati masih mau bertanya. Namun anak itu sudah terburu-buru minta izin pulang.
"Maaf kanjeng," kata anak itu, "saya harus segera membawa pulang tatal ini. Kasian ibu saya kalau sampai kesiangan. Nanti nasinya tidak laku. Ibu saya menjual ke penjual nasi keliling di daerah kota. Kalau mereka sudah membeli nasi dari orang lain, mereka langsung berangkat. Jadi Ibu saya harus datang paling pagi agar nasinya bisa dijual ke mereka."
"Ya," kata Sunan Gunung Jati terpaksa mengizinkan, "silakan pulang."
Sunan Gunung Jati berkumpul bersama para wali lainnya. Sunan gunung jati lalu bertanya, "Adakah di antara para sedulur yang melihat, anak kecil tadi menggunakan semacam ilmu agar dia bisa tembus pagar gaib kita?"
Tak ada jawaban dari para wali lain.
Kesimpulan sementara menurut Sunan Gunung Jati, anak itu tidak mempunyai ilmu kesaktian apapun. Dia bisa menembus pagar gaib, karena pada hakekatnya pagar gaib itu untuk melindungi dari ancaman. Anak itu niatnya tulus membantu ibunya. Kehadiran anak itu tidak dianggap sebagai ancaman. Maka pagar gaib dari beberapa wali pun bisa dia tembus.
Beberapa wali lain menambahkan, misalnya tentang kejernihan matanya sehingga bisa mencari kembali lokasi ini, ini ditunjang oleh kondisi laku prihatinnya. Dia sudah biasa berpuasa sehingga matanya terpelihara dari noda dosa. Dan mata batinnya yang lebih menuntun anak itu menemukan tempat ini.
Anak itu tidak perlu belajar ilmu kesaktian apapun. Jika kondisi tirakatnya tetap diolah, kepolosan dan kesucian batinnya akan terus melindunginya. Jika kesucian batin anak itu tetap terjaga seperti kesucian batin seorang anak bayi, maka kesaktian dari siapapun akan luntur. Bahayanya, jika kemudian anak itu jatuh kepada bisikan setan. Dia akan sepenuhnya dikendalikan oleh angkara murka.
Lalu disepakati semua pekerjaan yang sudah selesai itu dipindah ke lokasi berdirinya Tajug Agung Sang Cipta Rasa.
Pengerjaan pembangunan Tajug Agung Sang Cipta Rasa, sepenuhnya di bawah pengawasan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga membawa seluruh kerabat keluarganya dari kerabat Majapahit (yang kemudian ada juga yang sebagai kerabat Kesultanan Demak), dari arsitek sampai tukang bangunan. Pembangunan Tajug Sang Cipta Rasa langsung dikerjakan malam itu juga.
Ternyata, anak pencari tatal itu, hadir lagi pagi itu di area pembangunan Tajug Agung Sang Cipta Rasa ini.
Pada kesempatan itu, Sunan Kalijaga turut membantu mengumpulkan tatal, sambil berbincang-bincang dengan anak pencari tatal itu. Sunan Kalijaga telah turut andil menanamkan nilai-nilai Islam ke diri anak itu. Rupanya, Sunan Kalijaga sengaja mencecerkan beberapa tatal dalam perjalanan menuju area pembangunan Tajug Agung Sang Cipta Rasa. Anak itu memang akhirnya mengikuti tatal yang dicecerkan oleh Sunan Kalijaga. Tatal menjadi jalan masuknya untuk memberi pendidikan dasar Keislaman kepada bocah tatal itu.
Lalu Sunan Kalijaga mengumpulkan tatal yang lebih besar, dan mengajak bocah tatal itu untuk ikut membantunya mengumpulkan, lalu disatukan dan membentuk tiang. Itulah Saka Tatal. Saka Tatal juga berdiri di Masjid Agung Demak, yang secara arsitekturnya pun nyaris kembar.
Bocah tatal itu diminta oleh Sunan Kalijaga untuk ikut Shalat Subuh berjamaah, Jika Tajug Agung nantinya sudah berdiri. Dan ternyata Tajug Agung itu telah tegak berdiri hari itu, lengkap dengan Saka Tatal. Orang-orang awam hanya tahu kalau Tajug Agung Sang Cipta Rasa ini dibangun dalam waktu hanya semalam saja.
Dan bocah tatal itu kelak adalah salah satu dari tujuh muadzin saat pertama kali berkumandang azan tujuh orang (Kumandange Azan Pitu). Lalu akhirnya menjadi salah satu imam di Tajug Agung Sang Cipta Rasa ini.
Wallahu 'alam bishawab
Bersambung ke Docang dan Sabrang| Kumandange Azan Pitu (Bag. 3)
===========
Jikalau ada diantara pembaca, yang merasa masih keturunan dari bocah tatal tersebut, senang rasanya jika saya bisa mendengar kembali kisah ini langsung dari keturunannya, apalagi jika memiliki versi yang agak berbeda.
"Hai, nak," tegur Sunan Gunung Jati, "untuk apa kau kumpulkan tatal-tatal itu?"
Anak itu kaget dengan kemunculan orang asing di tempat dia biasa mencari ranting dan tatal. Anak itu tidak mengenal, bahwa orang itu adalah Sunan Gunung Jati. Anak itu terlihat takut dan sulit menjawab pertanyaan Sunan Gunung Jati.
"Tak usah takut, nak," kata Sunan Gunung Jati, "aku pun manusia seperti kamu. Aku bukan bangsa lelembut yang menghuni daerah ini."
"Maaf," kata anak itu mulai bisa menjawab, "saya hanya mengumpulkan ranting pada awalnya. Tapi saat melihat banyak tatal, saya lebih memilih tatal. Ranting atau tatal tadi dipakai untuk kayu bakar oleh ibu saya. Ibu saya berjualan nasi."
"Apa iwake?" ("Apa lauknya") tanya Sunan Gunug Jati.
"Iwak iku apa?" ("Apa itu lauk?") anak itu balik bertanya.
"Lauk itu," kata Sunan Gunung Jati, "yang dimakan bersama nasi. Apa biasanya yang kamu makan bersama nasi?"
"O," kata anak itu, "cuma air putih."
"Pagi, siang, sore cuma makan nasi putih?" tanya Sunan Gunung Jati.
"Cuma sore saat maghrib," kata anak itu, "saya biasa puasa setiap hari, kecuali hari-hari tertentu."
"Siapa yang mengajarkan itu?" tanya Sunan Gunung Jati.
"Ibu saya," jawab anak itu.
Sunan Gunung Jati masih mau bertanya. Namun anak itu sudah terburu-buru minta izin pulang.
"Maaf kanjeng," kata anak itu, "saya harus segera membawa pulang tatal ini. Kasian ibu saya kalau sampai kesiangan. Nanti nasinya tidak laku. Ibu saya menjual ke penjual nasi keliling di daerah kota. Kalau mereka sudah membeli nasi dari orang lain, mereka langsung berangkat. Jadi Ibu saya harus datang paling pagi agar nasinya bisa dijual ke mereka."
"Ya," kata Sunan Gunung Jati terpaksa mengizinkan, "silakan pulang."
Sunan Gunung Jati berkumpul bersama para wali lainnya. Sunan gunung jati lalu bertanya, "Adakah di antara para sedulur yang melihat, anak kecil tadi menggunakan semacam ilmu agar dia bisa tembus pagar gaib kita?"
Tak ada jawaban dari para wali lain.
Kesimpulan sementara menurut Sunan Gunung Jati, anak itu tidak mempunyai ilmu kesaktian apapun. Dia bisa menembus pagar gaib, karena pada hakekatnya pagar gaib itu untuk melindungi dari ancaman. Anak itu niatnya tulus membantu ibunya. Kehadiran anak itu tidak dianggap sebagai ancaman. Maka pagar gaib dari beberapa wali pun bisa dia tembus.
Beberapa wali lain menambahkan, misalnya tentang kejernihan matanya sehingga bisa mencari kembali lokasi ini, ini ditunjang oleh kondisi laku prihatinnya. Dia sudah biasa berpuasa sehingga matanya terpelihara dari noda dosa. Dan mata batinnya yang lebih menuntun anak itu menemukan tempat ini.
Anak itu tidak perlu belajar ilmu kesaktian apapun. Jika kondisi tirakatnya tetap diolah, kepolosan dan kesucian batinnya akan terus melindunginya. Jika kesucian batin anak itu tetap terjaga seperti kesucian batin seorang anak bayi, maka kesaktian dari siapapun akan luntur. Bahayanya, jika kemudian anak itu jatuh kepada bisikan setan. Dia akan sepenuhnya dikendalikan oleh angkara murka.
Lalu disepakati semua pekerjaan yang sudah selesai itu dipindah ke lokasi berdirinya Tajug Agung Sang Cipta Rasa.
Pengerjaan pembangunan Tajug Agung Sang Cipta Rasa, sepenuhnya di bawah pengawasan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga membawa seluruh kerabat keluarganya dari kerabat Majapahit (yang kemudian ada juga yang sebagai kerabat Kesultanan Demak), dari arsitek sampai tukang bangunan. Pembangunan Tajug Sang Cipta Rasa langsung dikerjakan malam itu juga.
Ternyata, anak pencari tatal itu, hadir lagi pagi itu di area pembangunan Tajug Agung Sang Cipta Rasa ini.
Pada kesempatan itu, Sunan Kalijaga turut membantu mengumpulkan tatal, sambil berbincang-bincang dengan anak pencari tatal itu. Sunan Kalijaga telah turut andil menanamkan nilai-nilai Islam ke diri anak itu. Rupanya, Sunan Kalijaga sengaja mencecerkan beberapa tatal dalam perjalanan menuju area pembangunan Tajug Agung Sang Cipta Rasa. Anak itu memang akhirnya mengikuti tatal yang dicecerkan oleh Sunan Kalijaga. Tatal menjadi jalan masuknya untuk memberi pendidikan dasar Keislaman kepada bocah tatal itu.
Lalu Sunan Kalijaga mengumpulkan tatal yang lebih besar, dan mengajak bocah tatal itu untuk ikut membantunya mengumpulkan, lalu disatukan dan membentuk tiang. Itulah Saka Tatal. Saka Tatal juga berdiri di Masjid Agung Demak, yang secara arsitekturnya pun nyaris kembar.
Bocah tatal itu diminta oleh Sunan Kalijaga untuk ikut Shalat Subuh berjamaah, Jika Tajug Agung nantinya sudah berdiri. Dan ternyata Tajug Agung itu telah tegak berdiri hari itu, lengkap dengan Saka Tatal. Orang-orang awam hanya tahu kalau Tajug Agung Sang Cipta Rasa ini dibangun dalam waktu hanya semalam saja.
Dan bocah tatal itu kelak adalah salah satu dari tujuh muadzin saat pertama kali berkumandang azan tujuh orang (Kumandange Azan Pitu). Lalu akhirnya menjadi salah satu imam di Tajug Agung Sang Cipta Rasa ini.
Wallahu 'alam bishawab
Bersambung ke Docang dan Sabrang| Kumandange Azan Pitu (Bag. 3)
===========
Jikalau ada diantara pembaca, yang merasa masih keturunan dari bocah tatal tersebut, senang rasanya jika saya bisa mendengar kembali kisah ini langsung dari keturunannya, apalagi jika memiliki versi yang agak berbeda.
=====
Tidak ada komentar:
Iklan dan Promosi terselubung masih boleh, asal cantumkan komentar yang sesuai tema.
Iklan/promosi yang berlebihan dan komentar yang tidak sesuai tema, akan dihapus.
Komentar spam akan dihapus juga.